Wednesday, March 20, 2024

Behave!

Sebuah Kritik terhadap Manipulasi dan Overspiritualisasi Narasi Penundukan Diri





"Tunduk dan taatlah pada pemimpin, pengasuh atau panutanmu, karena berkat atau kutuklah ganjarannya."

Bertumbuh dalam komunitas dan kultur "Timur" yang religius, narasi berikut adalah santapan rutin kebanyakan kita.


"Kami para pendeta sungkan kalau terlalu akrab dengan jemaat, khawatir nanti mereka jadi kurang ajar".. demikian komentar seorang kolega dari teaching pastor kami yang dikisahkan kembali dalam salah satu khotbah ibadah minggu Reformasi Liturgi Church  (GMII RLC). "Lack of protocols or boundaries". Kerap terjadi bahwa kedekatan menimbulkan the problem/dilemma of familiarity, semakin dekat atau kerabat, kita sering lupa akan batasan dalam melakukan hal-hal yang tidak akan pernah kita lakukan dengan orang lain atau di muka umum.


Membingkai istilah "kurang ajar" sebagai dehumanisasi atau penyangkalan martabat manusia, Saya teringat sebuah klausa populer lainnya yakni "setelah jadi orang", seolah seorang yang muda atau belum "sukses" itu baru "setengah manusia".  Seketika pikiran nakal Saya berceloteh, "Mungkinkah orang tua kurang ajar pada anaknya, atau atasan kepada bawahannya? Apakah perihal kesopanan dan kepantasan dan ancaman "kualat" adalah semata narasi permainan politik mereka yang 'lebih tinggi'? "


️Sebagai disclaimer, mohon dipahami bahwa Saya tidak menentang perlunya keteraturan dan harmoni dalam mewujudkan kebaikan bersama. Keluarga, sekolah, usaha, pemerintahan, semua membutuhkan konsensus dan disiplin.

Namun kita tak dapat dengan naif menutup mata. Dalam berbagai konteks, kekerasan fisik/verbal, manipulasi dan intimidasi menunjukkan bahwa mereka yang mengemban amanah rentan abai dan gagal memisahkan antara perlunya tatanan di satu sisi dan penghargaan akan martabat dari mereka yang dipimpin atau diasuh sebagai sesama citra Allah di sisi lainnya. (bdk. Kej 1:27)


Dr. Russell Moore, teolog, politisi, sekaligus pimpinan editor "Christianity Today" mengutip sosiolog Robert Naisbitt mengenai otoritas versus kekuasaan, 

"Jika otoritas sebagai kemampuan persuasif yang alami gagal berfungsi, maka yang dihasilkan adalah otoritarianisme dan pemaksaan."

Sedangkan Henri Nouwen (alm.), seorang psikolog dan imam Gereja Katolik memaparkan dalam bukunya, "In The Name of Jesus", bahwa "Kekuasaan menawarkan jalan pintas yang lebih mudah (dan tidak melelahkan) ketimbang cinta." 

Merenungkan kisah sengsara dan salib-Nya, Kristus telah memilih bagaimana Ia akan menebus kita kembali pada Allah, dan Anda bisa menebak, Ia tidak memilih "jalan pintas yang mudah" itu.


Kekuatan revolusioner dan transformatif dalam kabar baik tentang Salib terletak pada paradoks yang dialamatkannya kepada dinamika "honor-shame" (penghormatan vs penistaan) dan pembalikan paradigma tentang kurban & pengorbanan, serta bagaimana menghidupi "a cruciform life" (hidup yang menampakkan salib). 

Tentang bagaimana Allah menyatakan kebenaran & kehormatan-Nya, turut serta (somehow) dalam penistaan & pembunuhan Sang Anak Manusia. 

Tentang bagaimana kurban pun tak lagi soal meredakan murka dewata, namun juga menyatakan cinta paripurna. 

Tentang bagaimana kehidupan Kristiani seharusnya dijiwai kebenaran dan kasih persauadaraan yang sinonim dengan kesetaraan.

Demikianlah kurang lebih dasar pemahaman yang dipaparkan oleh Dr. Peter Enns, professor studi biblika dari Eastern University, Pennsylvania, dalam sebuah episode podcast berjudul "What Makes Christianity Different?" .


Dan saya percaya bahwa Injil dapat mewujudkan transformasi ilahi (kebenaran & kasih) di tengah peradaban dunia ketika ia dipahami dalam konteks sosial terkecil, keluarga. 


Dalam logika yang sama, kerusakan, eksploitasi, pelecehan, adiksi, pola dan siklus trauma turun temurun dalam masyarakat global dimulai pula dalam keluarga.

Saat yang lemah dan masih bergantung di bawah dikondisikan untuk terus merasa lemah bahkan bersalah (sekalipun tidak). Saat dehumanisasi dan manipulasi dogma, norma, bahkan narasi kitab suci hanya menguntungkan para pemegang kuasa atau para tetua yang merasa lebih bijaksana. 


"Mendengar perkataan itu sangatlah tertusuk hati mereka (anggota mahkamah agama) dan mereka bermaksud membunuh rasul-rasul itu." (Kis 5:33)


Skenario penebusan yang dipilih Kristus adalah kematian dan pembungkaman, menerima laknat dan kualat karena Ia bersuara lantang dan lancang, menentang kepemimpinan, "pemimpin, orang tua dan imam" korup yang mengambil jalan pintas, memanipulasi hukum, dogma dan norma demi langgengnya hormat dan kuasa bagi mereka untuk melenggang dan bertindak tanpa tuntutan konsekuensi maupun pertanggungjawaban.


"Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita, sebab ada tertulis: "Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!" (Gal 3:13)


Perlu dipahami, isu ini tidak dialamatkan sebagai ekspresi amarah membabi-buta, apalagi melakukan dehumanisasi kepada para figur otoritas. Hal demikian hanya akan mengulang kembali dan memberdayakan siklus toxic yang sama.

Jika ada fakta penting yang diajarkan kehidupan, yakni bahwa orang tua, pemimpin, dan pendidik selalu mulai dari suatu idealisme dan karya nyata. Dunia ini messy, broken dan abu-abu. Dengan kesadaran inilah kita memandang Kristus yang mengampuni para tua-tua sepuh yang menganiaya Sang Sabda, dengan nurani yang gelisah di antara ketegangan untuk mengampuni dan bersuara.


Akhirnya, adalah kerinduan Saya dan banyak peziarah Iman lainnya yang menjadi "produk" dari kapitalisasi kesalahpahaman membaca pesan Injil untuk berkata "Cukup sampai di sini, jangan lagi." Karena Allah dalam Kristus dan melalui salib telah menegaskan bahwa "Yahwe yang tak boleh dinista" bukanlah akhir cerita. Karena kekristenan sebagai jalan pemulihan mewartakan bahwa Injil bukanlah pertama-tama sistem yang menteror manusia dengan kualat atau balasan penghancuran. Injil adalah undangan cinta. Injil menegaskan hati Allah yang terbuka lapang menerima kontradiksi dan kontroversi, bahwa mereka yang hina adalah juga kekasih-Nya.


Bersama Kristus yang dibungkam karena bersuara menentang para penyamun berjubah, mari berimajinasi akan dunia baru dimana kita semua adalah saudara dan setara. Bahwa takkan lagi ada mereka yang karena ketersinggungan nan kekanak-kanakan, memanipulasi dan mengeksploitasi ayat tentang pahala dan neraka sebagai senjata untuk mengintimidasi, mengekstraksi hormat dan kepatuhan sambil berteriak menghardik yang lemah dan lapar (akan kasih) dalam (membawa-bawa) nama Yesus, "Jangan lancang! Behave!"


"Sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia, yang kepada-Nya kita harus memberikan pertanggungan jawab." (Ibrani 4:13b)


Felix Zhao ------------------------



Refleksi lainnya :


1 comment:

  1. Sebuah inspirasi yang benar adanya. Bahwa bukan berarti, bila seseorang sudah lebih tinggi kedudukan / jabatannya/ usianya lebih tua, menjadikannya selalu Paling Benar dalam segala pendapatnya. Anak muda pun sepatutnya didengarkan pendapatnya. Intinya tidak boleh merasa diri selalu paling benar. Dan harus menghargai keberadaan / pendapat orang lain, ntah itu anak, karyawan, murid, maupun pembantu. Semua punya kesetaraan martabat di hadapan Tuhan / Allah.

    ReplyDelete