Friday, April 12, 2024

Cogito Ergo Sum

Apakah "Kebenaran Objektif dan Absolut Alkitabiah" merupakan Konsep yang "Sehat"?


Sadarkah Anda bahwa argumen di bawah ini bukanlah sepenuhnya berasal dari tradisi iman Gereja mula-mula, namun buah dari pemikiran modern, bahkan dalam ekspresi tertuanya baru mendominasi sejak pasca reformasi di abad XVI? (Penjelasan di bawah dan seterusnya) :

"Jangan gunakan pemikiran sendiri*, taatlah pada apa kata Alkitab karena itu menandakan Iman kepada Tuhan, Alkitab tidak mungkin salah dan pesan dalam Alkitab akan selalu objektif dan netral karena berasal dari Allah, disampaikan langsung pada kita."


Cogito Ergo Sum (Saya Berpikir Maka Saya Ada; Berpikir memberikan makna terhadap eksistensi manusia)

Mengapa memahami motto Descartes ini penting dalam menyikapi isu dan kontroversi "progresivitas" maupun "dekonstruksi" spiritual?

Banyak orang akan menduga bahwa Saya mengangkat motto ini sebagai contoh pemikiran modern "duniawi" yang mencoba menggantikan standar kebenaran sebagaimana yang dapat ditemukan orang percaya dalam Alkitab.

Well, meski itu tidak salah (sepenuhnya), namun yang hendak ditekankan di sini adalah bahwa narasi konservatisme Kristiani tertentu yang menyatakan bahwa Alkitab mampu memberikan perspektif kebenaran filosofis yang objektif dan non-bias, pemikiran demikian ternyata juga bertumpu pada gagasan modernisme yang sama. Mengapa demikian?


Polemik "Kekristenan Progresif"

Akhir-akhir ini khususnya di dunia maya, istilah "kristen progresif" banyak disalahartikan baik oleh mereka yang mendukung maupun menentangnya. Banyak orang, awam maupun rohaniwan berapologet (berusaha membela keyakinan doktrinal) bahwa "dekonstruksi" rohani merupakan "buah" pemikiran progresif pasca modernisme (postmo) yang "menyerang kebenaran alkitabiah", namun benarkah demikian?

Sejatinya, "progresif" atau progresivitas berpusat pada upaya aktualisasikan suatu pola pikir agar dapat bermakna dan menjadi jawaban dalam situasi dunia hari ini dalam setting lokasi atau budaya tertentu. Dan "dekonstruksi" (yang sering disalahpahami sebagai upaya sengaja untuk menyesatkan diri atau orang lain terkait nilai moral/spiritual kristiani), sejatinya adalah sesederhana respon istri saya seusai saya menjelaskannya, "Oo.. maksud nya penafsiran?". 🤭👍


Hubungan Dekonstruksi dengan Pemikiran Progresif

Menurut Jaques Derrida, bapak dekonstruksi modern, dekonstruksi menyerupai proses membongkar sesuatu untuk kemudian merakit kembali menjadi suatu yang baru. Proses ini terjadi secara spontan (tidak disengaja dan tak terelakkan niscaya terjadi) saat kita memaknai suatu teks atau hal non-tekstual yang dapat dinarasikan, misalnya pengalaman hidup. Dekonstruksi spiritual spontan terjadi ketika kita membaca isi Alkitab (karena kita pasti menafsirkan maknanya sesuai pemahaman kita atau agar teks yang sangat lampau tersebut "berbicara" pada kita di saat ini).

Maka dalam hal ini mereka yang mengaku "konservatif" sekalipun dalam tahap tertentu mau tidak mau akan mengalami dekonstruksi dan progresivitas. Ironisnya banyak pihak yang tergesa-gesa menghakimi pemikiran progresif maupun dekonstruksi dalam kekristenan belum pernah mendengar tentang Derrida, sang pencetus konsep ini, apalagi membaca atau mencoba memahami apa yang dimaksudkannya.


Progresivitas dan Dekonstruksi dalam Alkitab dan Sejarah Gereja

Dalam diskursus/wacana akademik biblika, sejarah iman yang didokumentasikan dalam Alkitab, maupun sejarah perkembangan Gereja diwarnai kisah-kisah yang menggambarkan bahwa dekonstruksi dan progresivitas telah berlangsung lebih banyak, integral dan esensial dari yang kita sadari maupun akui. 

Ketika dinamika sosial terjadi pasca eksodus orang-orang Yahudi menuju Kanaan, mereka berprogres sehingga narasi mengenai cara memperlakukan budak mengalami pergeseran dalam hak maupun kesetaraan gender (Bdk. Kel 21 dengan Ul 15).

Ketika umat Israel mengenal orang-orang di pengasingan Babilonia dan mulai melihat mereka sebagai manusia, ketimbang para iblis penjajah, progresi dalam soteriologi (konsep keselamatan dan rahmat Allah) mereka melahirkan kitab Yunus yang menarasikan pengampunan Allah kepada kota Niniwe, ini berbeda dengan narasi kitab Nahum dimana Niniwe dihukum dan dimusnahkan.

Di masa pasca pembuangan ke Babilonia maupun pasca penghancuran Bait Suci Kedua tahun 72 Masehi, komunitas religius Yahudi "dipaksa" untuk mendekonstruksi ibadah wajib berupa pengorbanan hewan yang tidak dapat lagi mereka lakukan karena ketiadaan Bait Suci. Dari progresifitas inilah lahir Judaisme Rabinik seperti yang kita kenal hari ini.

Progresivitas yang sama juga terjadi sedemikian rupa sehingga dalam rangka menguatkan konsep trinitas, gereja Katolik Roma mengubah narasi bahwa "Roh Kudus keluar/diutus Bapa, sama seperti Putera" yang telah disepakati dalam konsili Nicea, menjadi "Roh Kudus diutus dari Bapa dan Putera". Hal ini menyebakan apa yang dikenal sebagai kontroversi "filioque" (diutus atau keluar dari siapa) yang menyulut perpecahan awal antara gereja Roma dengan kekristenan Timur pra reformasi Protestan.

Progresivitas terjadi pula dalam gerakan evangelikalisme di Amerika Serikat, hari ini Anda takkan mendengar lagi ajaran Gereja-gereja ini mengenai segregasi atau pemisahan antara ras kulit putih dan ras lainnya dalam aktivitas publik, atau dukungan atas perbudakan. Ya, mereka mendukung hal-hal tersebut di masa lalu, dengan mengutip ayat-ayat Alkitab.


Sekali Lagi tentang Postmodernisme versus Modernisme

Pada kenyataannya, postmodernisme yang melahirkan pemikiran progresif dan dekonstruktif adalah kritik akan cara berpikir modernis. Dan melanjutkan silogisme tersebut, dekonstruksi merupakan kritik postmedernisme terhadap klaim modernisme akan Alkitab. 

Postmodernisme secara progresif menantang klaim bahwa "cogito ergo sum" termasuk terhadap Alkitab dapat dilakukan. Bahwa kalau pun kebenaran dalam diri Allah itu objektif, dapatkah manusia yang sejatinya subjektif ini mengartikulasikannya dengan sempurna?

Dan meminjam konsep spontanitas dekontruksi Jaques Derrida, apakah mungkin (dengan pemahaman kita masa kini akan proses pembentukan gagasan melalui ekspresi bahasa), bahwa gagasan sempurna Allah dapat terinternalisasi dalam diri pembaca Alkitab dengan mem-bypass konteks hidup, proses berpikir dan interpretasi?


Implikasi Eklesiologis dan Teologi Publik

Implikasinya, pembiaran terhadap narasi yang agresif-konfrontatif terhadap dekonstruksi teologis beresiko menghasilkan polarisasi yang kontra-produktif dan dinamika politik yang tidak sehat dalam kehidupan bergereja. Mereka yang memunculkan pertanyaan-pertanyaan jujur yang terlahir dari tragedi kehidupan, pengalaman traumatis terkait pelanggaran etika dalam pelayanan dan penggembalaan dapat serta merta diredam dan dimarginalisasi demi konservasi kenyamanan dan kekuasaan sebagian pihak dalam komunitas iman dengan mengatasnamakan "otoritas Alkitab".

Maka menyikapi arus pemikiran postmodernisme secara terburu-buru, apriori dan bermusuhan adalah sikap yang berbahaya. Sebaliknya, adalah bijaksana untuk memandang pergerakan postmodernisme dalam spiritualitas Kristiani secara dialogis sebagai dinamika ecclesia semper reformanda (Gereja yang senantiasa diperbaharui/bereformasi) demi mengangkat kembali pembacaan yang mempertimbangkan banyak faktor seperti sains, perkembangan peradaban, dan terlebih utama, konteks kehidupan manusia dan permasalahan dunia yang senantiasa menjadi "moving target" dari iman kita akan Kabar Baik Kristus.


Amrih Mulyo Dalem Gusti


FZ



Catatan:

* Ekspresi ini seringkali didasarkan pada kutipan dari Amsal 3:5 berikut

"Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri."

Masalahnya, ketika kita mempertimbangkan konteks lokal perikopnya saja, kita akan menemukan dalam ayat 6 dan 7 bahwa ekspresi ini berbicara tentang kecenderungan pemikiran manusia yang melakukan kejahatan, maka bersandar kepada Allah tidak hanya bermakna "meyakini hal-hal yang benar", namun juga menjauhi tindakan yang merugikan sesama. Konteks Amsal 3:5-7 mendorong kita tidak berhenti hanya pada meyakini "doktrin yang benar", namun mencapai keutuhannya dalam tindakan solidaritas Kristiani sebagaimana tercermin dalam "Sabda Bahagia" (bdk. Mat 5:1-12)

Amsal 3:6-7 (TB) 

"Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu. 

Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan TUHAN dan jauhilah kejahatan;"



* Silakan memberikan komentar dan sharing pengalaman Anda di bagian komentar dan membagikan tulisan ini kepada siapa saja yang mungkin tertarik atau membutuhkan. Terima kasih.



Refleksi lainnya :

Saturday, March 30, 2024

Paskah dari Ujung Bimasakti

"Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya; hari meneruskan berita itu kepada hari, dan malam menyampaikan pengetahuan itu kepada malam. 

Tidak ada berita dan tidak ada kata, suara mereka tidak terdengar; tetapi gema mereka terpencar ke seluruh dunia, dan perkataan mereka sampai ke ujung bumi."

Mazmur 19:2-5a

Ketika Raja Daud mengagumi semesta ciptaan Allah dalam Mazmur nan indah tadi, seperti inilah kosmologi yg ia pahami, dunia yang datar dan benda penerang langit berada dalam naungan kubah raksasa (רקיע "Raqia") yang menahan samudera mahabesar yang memberi langit warna birunya di siang hari. Samudera inilah yang diyakini para sarjana biblika sebagai "waters of chaos" yang tumpah ruah ke atas bumi dalam kisah Nuh dan sebagaimana chaos dalam Kejadian 1, saat kehidupan di reset kembali di titik nol.

Kita hidup hari ini dalam kesadaran yang telah jauh berbeda akan semesta & realita. Kita mengukur jarak kosmik dalam hitungan "tahun cahaya" (1 trilyun kilometer), yang berarti bahwa bintang kedua terdekat dari bumi setelah matahari adalah Proxima Centauri dimana cahaya yang terpancar darinya 40.2 tahun silam baru akan terlihat di langit kita malam ini. Bintang-bintang yang lebih jauh telah menjadi "cahaya-cahaya purbakala" di langit malam kita.

Kita berada di piringan luar cakram Bimasakti dengan jarak 28.000 tahun cahaya ke pusat galaksi. Jika kita mampu melihat cahaya dari sana malam ini, Maka itu adalah cahaya berusia 28.000 tahun yang baru tiba di lensa mata Anda hari ini. Dan tebak ada berapa galaksi dalam estimasi terbaru dalam semesta yang diketahui sains? Dua trilyun galaksi.

Jika kita menghitung satu hingga 1 juta secara nonstop, kita membutuhkan waktu 12 hari. Namun jika kita menghitung hingga 1 trilyun, dibutuhkan waktu 21.700 tahun untuk menyelesaikannya. Betapa besarnya semesta kita dan itu pun mungkin belum semuanya. Itulah kosmologi kita hari ini.


Paradoksnya, semakin berkembang pemahaman manusia, semakin misterius dan tak terselamilah semesta dan realita. Manusia semakin jauh dari "total/absolute certainty" (kepastian yang mutlak).

Maka pertanyaan berikutnya: 

Dapatkah kita memandang Allah dan pemahaman kita akan Allah secara lebih sederhana, tuntas dan lengkap ketimbang alam ciptaan-Nya yang luar biasa ini, sekalipun ia telah "terwahyukan" lewat Firman-Nya? Inikah definisi yang tepat ketika kita menyatakan Iman akan Firman Allah sebagai kebenaran yang tidak berubah?


Hari-hari ini kita diperhadapkan dengan polarisasi yang semakin menjadi-jadi. Liberal versus konservatif. Ortodoksi versus konstruktif. Keselamatan itu anugerah atau keselamatan itu manunggal dengan karya? Bagaimana kalau mungkin kedua-duanya? Keselamatan itu Eksklusif karena Kristus atau keselamatan itu Universal justru juga karena Kristus?



Maka lewat berita Paskah ini, Kristus yang menderita, wafat, dan bangkit ini, yang tanpa mampu terelakkan kita baca lewat lensa Abad 21 dengan CERN hadron collider-nya, dengan quantum computing-nya, dengan James Webb Telescope dan Parker Solar Probe nya. Lewat peradaban yang telah melalui era jelajah samudera, berbagai wabah pandemi, revolusi industri dan dua perang dunia. .. tidakkah berita Paskah akan termaknai secara bijaksana, relevan dan bernyawa, dan bahkan tegak lurus dalam tuntunan Roh Kudus Sang Kebenaran, jika Injil Kabar Baik itu, Kemuliaan Allah yang dipuisikan Raja Daud itu, membawa kita, tidak berhenti hingga pada tingginya pengetahuan, pada kemenangan dalam perdebatan, bukan pada prestasi membela "kebenaran", pada sebegitu kuatnya kepastian hingga lompatan Iman itu tidak lagi dibutuhkan, namun tidakkah ia juga harus termanifestasi dalam luas dan lebarnya ruang percakapan dan penerimaan?

Kita mungkin tidak sepakat namun dalam Kristus dan lewat semangat pengorbanan dan teladan mempersembahkan diri, bisakah kita tetap kerabat dan tetap sejawat?


Peter Enns, seorang teolog dan Profesor studi Biblika dari Eastern University Pennsylvania mengeskpresikan dalam salah satu podcast yang dibawakannya berjudul: "Staying Christian Is Hard, Isn't It?" bahwa dalam segala pemaknaan realita dimana kisah kuantum dan semesta tadi memberi cukup alasan bagi manusia milenial untuk tidak lagi menganggap serius akan Alkitab, Enns justru memandang bagaimana Injil masih tetap memberikan lensa yang tak tergantikan dalam melihat dunia dan realita.

Salib Kristus yang memutarbalikkan pemikiran dunia tentang kemuliaan dan kehinaan, menjungkirbalikkan prasangka bahwa kemalangan adalah kutuk, atau bahwa Allah adalah sang dewata penuh amarah yang perlu ditenangkan dengan kurban.

Berita Paskah adalah harapan bahwa dalam dunia yang penuh ketidakpastian dan misteri inilah dimungkinkan adanya harapan, cinta dan kebaikan.


Mari menyadari bahwa Allah memanggil kita, tidak berhenti pada demonstrasi kebenaran dan kekuatan, namun sejatinya untuk menubuhkan pengorbanan-Nya yang membawa keselamatan.

Maka rekan dan kerabat terkasih, selamat merayakan kebangkitan, kasih dan pengharapan.


Tuhan Yesus memberkati.


Felix Zhao ------------------------


Versi video refleksi ini dapat diakses di sini.


** Silakan memberikan komentar dan sharing pengalaman Anda di bagian komentar dan membagikan tulisan ini kepada siapa saja yang mungkin tertarik atau membutuhkan. Terima kasih.


Refleksi lainnya :

Wednesday, March 20, 2024

Behave!

Sebuah Kritik terhadap Manipulasi dan Overspiritualisasi Narasi Penundukan Diri





"Tunduk dan taatlah pada pemimpin, pengasuh atau panutanmu, karena berkat atau kutuklah ganjarannya."

Bertumbuh dalam komunitas dan kultur "Timur" yang religius, narasi berikut adalah santapan rutin kebanyakan kita.


"Kami para pendeta sungkan kalau terlalu akrab dengan jemaat, khawatir nanti mereka jadi kurang ajar".. demikian komentar seorang kolega dari teaching pastor kami yang dikisahkan kembali dalam salah satu khotbah ibadah minggu Reformasi Liturgi Church  (GMII RLC). "Lack of protocols or boundaries". Kerap terjadi bahwa kedekatan menimbulkan the problem/dilemma of familiarity, semakin dekat atau kerabat, kita sering lupa akan batasan dalam melakukan hal-hal yang tidak akan pernah kita lakukan dengan orang lain atau di muka umum.


Membingkai istilah "kurang ajar" sebagai dehumanisasi atau penyangkalan martabat manusia, Saya teringat sebuah klausa populer lainnya yakni "setelah jadi orang", seolah seorang yang muda atau belum "sukses" itu baru "setengah manusia".  Seketika pikiran nakal Saya berceloteh, "Mungkinkah orang tua kurang ajar pada anaknya, atau atasan kepada bawahannya? Apakah perihal kesopanan dan kepantasan dan ancaman "kualat" adalah semata narasi permainan politik mereka yang 'lebih tinggi'? "


️Sebagai disclaimer, mohon dipahami bahwa Saya tidak menentang perlunya keteraturan dan harmoni dalam mewujudkan kebaikan bersama. Keluarga, sekolah, usaha, pemerintahan, semua membutuhkan konsensus dan disiplin.

Namun kita tak dapat dengan naif menutup mata. Dalam berbagai konteks, kekerasan fisik/verbal, manipulasi dan intimidasi menunjukkan bahwa mereka yang mengemban amanah rentan abai dan gagal memisahkan antara perlunya tatanan di satu sisi dan penghargaan akan martabat dari mereka yang dipimpin atau diasuh sebagai sesama citra Allah di sisi lainnya. (bdk. Kej 1:27)


Dr. Russell Moore, teolog, politisi, sekaligus pimpinan editor "Christianity Today" mengutip sosiolog Robert Naisbitt mengenai otoritas versus kekuasaan, 

"Jika otoritas sebagai kemampuan persuasif yang alami gagal berfungsi, maka yang dihasilkan adalah otoritarianisme dan pemaksaan."

Sedangkan Henri Nouwen (alm.), seorang psikolog dan imam Gereja Katolik memaparkan dalam bukunya, "In The Name of Jesus", bahwa "Kekuasaan menawarkan jalan pintas yang lebih mudah (dan tidak melelahkan) ketimbang cinta." 

Merenungkan kisah sengsara dan salib-Nya, Kristus telah memilih bagaimana Ia akan menebus kita kembali pada Allah, dan Anda bisa menebak, Ia tidak memilih "jalan pintas yang mudah" itu.


Kekuatan revolusioner dan transformatif dalam kabar baik tentang Salib terletak pada paradoks yang dialamatkannya kepada dinamika "honor-shame" (penghormatan vs penistaan) dan pembalikan paradigma tentang kurban & pengorbanan, serta bagaimana menghidupi "a cruciform life" (hidup yang menampakkan salib). 

Tentang bagaimana Allah menyatakan kebenaran & kehormatan-Nya, turut serta (somehow) dalam penistaan & pembunuhan Sang Anak Manusia. 

Tentang bagaimana kurban pun tak lagi soal meredakan murka dewata, namun juga menyatakan cinta paripurna. 

Tentang bagaimana kehidupan Kristiani seharusnya dijiwai kebenaran dan kasih persauadaraan yang sinonim dengan kesetaraan.

Demikianlah kurang lebih dasar pemahaman yang dipaparkan oleh Dr. Peter Enns, professor studi biblika dari Eastern University, Pennsylvania, dalam sebuah episode podcast berjudul "What Makes Christianity Different?" .


Dan saya percaya bahwa Injil dapat mewujudkan transformasi ilahi (kebenaran & kasih) di tengah peradaban dunia ketika ia dipahami dalam konteks sosial terkecil, keluarga. 


Dalam logika yang sama, kerusakan, eksploitasi, pelecehan, adiksi, pola dan siklus trauma turun temurun dalam masyarakat global dimulai pula dalam keluarga.

Saat yang lemah dan masih bergantung di bawah dikondisikan untuk terus merasa lemah bahkan bersalah (sekalipun tidak). Saat dehumanisasi dan manipulasi dogma, norma, bahkan narasi kitab suci hanya menguntungkan para pemegang kuasa atau para tetua yang merasa lebih bijaksana. 


"Mendengar perkataan itu sangatlah tertusuk hati mereka (anggota mahkamah agama) dan mereka bermaksud membunuh rasul-rasul itu." (Kis 5:33)


Skenario penebusan yang dipilih Kristus adalah kematian dan pembungkaman, menerima laknat dan kualat karena Ia bersuara lantang dan lancang, menentang kepemimpinan, "pemimpin, orang tua dan imam" korup yang mengambil jalan pintas, memanipulasi hukum, dogma dan norma demi langgengnya hormat dan kuasa bagi mereka untuk melenggang dan bertindak tanpa tuntutan konsekuensi maupun pertanggungjawaban.


"Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita, sebab ada tertulis: "Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!" (Gal 3:13)


Perlu dipahami, isu ini tidak dialamatkan sebagai ekspresi amarah membabi-buta, apalagi melakukan dehumanisasi kepada para figur otoritas. Hal demikian hanya akan mengulang kembali dan memberdayakan siklus toxic yang sama.

Jika ada fakta penting yang diajarkan kehidupan, yakni bahwa orang tua, pemimpin, dan pendidik selalu mulai dari suatu idealisme dan karya nyata. Dunia ini messy, broken dan abu-abu. Dengan kesadaran inilah kita memandang Kristus yang mengampuni para tua-tua sepuh yang menganiaya Sang Sabda, dengan nurani yang gelisah di antara ketegangan untuk mengampuni dan bersuara.


Akhirnya, adalah kerinduan Saya dan banyak peziarah Iman lainnya yang menjadi "produk" dari kapitalisasi kesalahpahaman membaca pesan Injil untuk berkata "Cukup sampai di sini, jangan lagi." Karena Allah dalam Kristus dan melalui salib telah menegaskan bahwa "Yahwe yang tak boleh dinista" bukanlah akhir cerita. Karena kekristenan sebagai jalan pemulihan mewartakan bahwa Injil bukanlah pertama-tama sistem yang menteror manusia dengan kualat atau balasan penghancuran. Injil adalah undangan cinta. Injil menegaskan hati Allah yang terbuka lapang menerima kontradiksi dan kontroversi, bahwa mereka yang hina adalah juga kekasih-Nya.


Bersama Kristus yang dibungkam karena bersuara menentang para penyamun berjubah, mari berimajinasi akan dunia baru dimana kita semua adalah saudara dan setara. Bahwa takkan lagi ada mereka yang karena ketersinggungan nan kekanak-kanakan, memanipulasi dan mengeksploitasi ayat tentang pahala dan neraka sebagai senjata untuk mengintimidasi, mengekstraksi hormat dan kepatuhan sambil berteriak menghardik yang lemah dan lapar (akan kasih) dalam (membawa-bawa) nama Yesus, "Jangan lancang! Behave!"


"Sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia, yang kepada-Nya kita harus memberikan pertanggungan jawab." (Ibrani 4:13b)


Felix Zhao ------------------------



Refleksi lainnya :


Monday, January 22, 2024

Mencintai (Seperti Kristus) Hingga Terluka

(Atau Melukai dengan Dalih Cinta akan Kristus?)



A masih terus teringat bagaimana ruang kerjanya dikatakan gelap "dan mengundang roh-roh jahat" oleh sang mertua. Warna ungu dan hijau dipilihnya sebagai ekspresi kreativitas untuk menyemangatinya saat hendak merintis karier di suatu bidang kreatif. Setiap memandang dinding ruangan tersebut ia teringat pula bahwa tak lama setelah mengecat ruangan tersebut ia harus merelakan kepergian sang ibu kandung karena sakit yang mendadak.


B mengalami serangan kepanikan setiap kali diundang menghadiri acara keluarga besar di akhir tahun. Tahun lalu paman nya "menjebaknya" lewat undangan makan malam dimana B "ditegur" di muka umum karena tidak mengetahui bahwa Ayah B mengalami sakit dan perlu ditemani untuk pemeriksaan medis. Saat itu B sedang berusaha memperbaiki hubungan dengan sang Ayah pasca pertengkaran yang baru saja terjadi. Di tengah pergumulan finansial, B juga masih bergumul dengan dampak kekerasan verbal sang Ayah kepadanya bertahun-tahun lamanya.


C mengaku trauma berinteraksi dan terbuka dengan anggota maupun aktivis Gereja. Saat pandemi melanda, ia mendadak didiagnosa sakit kronis parah yang memaksanya undur dari berbagai kegiatan daring. Saat membaik dan mampu bergabung, C membagikan sejumlah wawasan baru biblika temuannya yang menjawab banyak keraguan dan pertanyaan eksistensialnya. Di luar dugaan, ia ditanggapi dingin dan sinis, dituduh sesat tanpa dialog yang memadai. Absen C yang lampau pun dianggap sebagai tindakan "ghosting" (melarikan diri) terhadap Tuhan.


Hal yang mungkin paling menyedihkan dari ketiga kisah tadi adalah, selain dari A, B, C, semua pihak yang dikisahkan tadi adalah mereka yang juga "mengakui" ketuhanan Yesus Kristus dan "mengikuti" ajaran Kitab Suci. Bukanlah rahasia, layaknya peradaban, sejarah Gereja pun diwarnai perselisihan karena perbedaan. Demi membela "kebenaran" tertentu, kita sanggup melakukan atau setidaknya "complicit" (membiarkan) pengucilan, pelecehan bahkan kekerasan verbal maupun fisik terhadap mereka yang dianggap "orang luar" atau lawan.

Mungkin kita lupa bahwa Yesus yang kita panggil Guru dan Tuhan (Yoh 13:13) adalah juga sahabat pemungut cukai dan para pendosa (pengkhianat, yang dianggap rusak moral, sosial dan spiritualnya) (Mat 11:19, Luk 7:34). Apa itu "sahabat"? Mereka yang tersingkir bisa menjawabnya. Yesus memang tidak berpartisipasi dalam kedosaan, namun Saya yakin, Ia pun tak sekadar menjadikan mereka "proyek penginjilan". Yesus sungguh menjadi sahabat, pendengar dan penolong yang tulus (Ams 17:17) kala orang lain mengutuk dan menolak.

Mungkin kita tidak mengetahui studi historis yang mengindikasikan bahwa hamba perwira yang dimohonkan kesembuhannya itu (bdk. Mat 8:5-13, Luk 7:1-10) amat mungkin adalah juga pasangan (intim) sang perwira yang tentu berlangsung secara "tidak pantas". Kepada orang inilah (yang mungkin memandang Yesus dari lensa "sesat" panteon Romawi sebagai Dewa Kesembuhan) Yesus memberikan pengakuan atas "imannya" (Mat 8:10). Darinyalah diambil kalimat dalam ritus ekaristi Gereja Roma, "tapi bersabdalah saja maka Saya akan sembuh".

Mungkin saat mendengar kata "sida-sida" (Kis 8:26-40), kita tidak paham bahwa mereka adalah para pria yang demi mengabdi kepada penguasa, mengalami proses "modifikasi" menyakitkan yang menyebabkan mereka tak lagi jelas status gender nya. Dan terhadap manusia "queer" (aneh, berbeda, menyimpang) yang disentuh hatinya oleh Injil dan penuh kerinduan akan Kristus ini, Filipus tidak melihat halangan apapun untuk menyambutnya ke dalam Gereja, keluarga Allah.

Mungkin saat membaca Kitab Yunus, kita sibuk berdebat tentang makhluk apakah yang menelan Yunus. Kita lupa bahwa awak kapal yang tidak mengenal Allah Israel maupun warga Niniwe yang masa lalunya kelam, semuanya dipandang Allah sebagai milik-Nya yang layak dikasihi dan diselamatkan. Bahwa "tanda Yunus" yang dibicarakan Yesus (Mat 12:39; 16:4; Luk 11:29-30) tidak hanya bermakna kematian dan kebangkitan-Nya namun juga sebagai pewahyuan tentang penerimaan Allah bagi semua. (Dan bahwa justru Yunuslah monsternya).  Dan sebagaimana Kitab Yunus ditutup tanpa menceritakan tanggapan Yunus atas Firman Allah mengenai kasih-Nya itu, mungkin inilah saatnya Gereja lewat tindakan kasih penerimaan yang nyata menjadikan dirinya jawaban atas pertanyaan ini ..

Matius 16:15 (TB)  

Lalu Yesus bertanya kepada mereka: "Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?"



Refleksi lainnya :



Tuesday, January 9, 2024

Sungguh Perlulah Dosa Adam


Sebuah Demistifikasi dan Reimajinasi Pengakuan Dosa

Oleh: Felix Zhao

Tetapi ular itu berkata kepada perempuan itu: "Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat."

Kejadian 3:4-5


Sebagian orang berpikir (atas konstruksi teologis para pendahulu) bahwa dosa masuk ke dalam dunia (berikut konsekuensi terkutuknya) karena pelanggaran manusia nun jauh di waktu lampau. (Bdk. Kej 3:6, 17-19; Rm 5:12; 6:23a). Tak butuh retorika rumit untuk menarik benang merah dari kisah Kejadian 3:4-5 dengan brokenness yang menjadi wajah dunia dan masa yang kita hidupi hari ini. 

Nampaknya Kejadian 3 tak mutlak mensyaratkan akurasi historis maupun kosmologis untuk dapat menggambarkan betapa rapuh dan ringkihnya kita, manusia yang tak mampu "mencukupkan dirinya dengan Allah yang Mahatahu". Kita kerap "ingin menjadi tahu seperti Allah" akan apa yang baik dan jahat (Ibrani: "ra" רע= jahat, buruk, bencana), untuk bertindak atas interpretasi baik-buruk yang subjektif-egoistik mengenai apa yang terjadi maupun yang ingin diwujudkannya.

Di saat bersamaan, Saya tidak menampikkan "godaan" untuk berkutat dalam polemik hamartologi (diskursus biblika mengenai dosa) yang nampaknya rentan menghasilkan klaim-klaim kontroversial dan eskapis (mengelak, mengabaikan) ketimbang konstruktif dalam menanggapi masalah kolektif yang dihadapi dunia hari ini sebagai rumah kita bersama.


Kita kerap lupa bahwa memakai software bajakan sama buruknya dengan "dosa moral" lainnya.

Bahwa menggunakan lampu hazard atau bahu jalan saat berkendara untuk alasan non-emergency adalah sama salahnya dengan mencuri. 

Bahwa mengurangi honor rekanan kita atau menghindari pajak adalah sama berdosanya dengan "menyembah ilah lain". 

Bahwa ecological recklessness adalah pembangkangan terhadap Sang Pencipta dan penghinaan terhadap Sang Penebus Dunia.

Saya menyadari bahwa layaknya iman, rahmat dan keselamatan, selalu ada
kemungkinan untuk melupakan bahwa dosa memiliki dimensi komunal selain personal. Saya dapat jatuh dalam pengabaian bahwa dosa itu juga sistemik alih-alih sekadar praktis dan kasuistis. Saya bisa saja berteologi dan mempraktekkan suatu "kesaksian nyata" sekaligus melupakan bahwa kerapuhan kita adalah perkara di dalam sebelum ia terpampang keluar.

Namun demikian, narasi keberdosaan dalam Injil tidak paripurna pada penghakiman, apalagi pada tindak kesalehan eksternal, melainkan kepada rahmat Allah yang internally and inwardly transformative. Konsekuensi dari pemilahan ini adalah se-krusial antara mengenali dan mengakomodasi narsisisme diri ataukah mengakui kedaulatan Allah.

"Tetapi hukum Taurat ditambahkan, supaya pelanggaran menjadi semakin banyak; dan di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah.." (Roma 5:20)

Baiklah kita menilik dan merefleksikan kembali keberdosaan dan kerapuhan sebagai bagian dari realita penantian kita akan kegenapan rahmat Allah. Menyadari kelemahan kita adalah praktek rohani yang sehat. Ia bukan permisif terhadap dosa maupun menegasi genapnya karya salib, namun untuk menundukkan "egoisme pertobatan" dan menenggelamkan diri kita dalam rahmat Allah.

Selain gesture liturgi simbolik, pertobatan barulah menjadi utuh dan hidup melalui aksi nyata, seeking repair atas kealpaan kita maupun cideranya lingkungan dan sesama.

Realitanya, kita tidak kebal dosa. Realitanya, rahmat itu melimpah bagi yang mengakuinya dan mengambil langkah nyata demi pemulihan dunianya Allah.

O certe necessárium Adæ peccátum, quod Christi morte delétum est!

O felix culpa, quæ talem ac tantum méruit habére Redemptórem!

(Oh sungguh perlulah dosa Adam, sehingga dilebur sepenuhnya oleh wafat Kristus, oh cela yang membahagiakan karena mendatangkan Penebus yang Mulia!)

--- The Exsultet of Latin Mass Paschal

Wednesday, January 3, 2024

Is It Late for Christmas?


Reimaginasi tentang Ketertinggalan, Perjalanan dan Menetap

 

By Felix Zhao

(Proposed as part of Instagram devotionals @reformasiliturgi)



Setiap berakhirnya "musim" Natal, Saya memiliki kebiasaan membiarkan pohon natal maupun ornamen Natal lainnya di ruang keluarga hingga akhir Januari.  Kemasan pernak pernik baru keluar dari penyimpanan setelah peringatan nyaris dilayangkan oleh seisi rumah secara tertulis. 🤭🤣

Kenangan masa kecil membawa Saya ke era permainan "digital arcade" atau saat menumpang bermain "video game" di rumah tetangga. 🎮 🎯  Saat paling menyedihkan adalah ketika menyadari bahwa koin Saya telah habis atau saat karakter "video game" yang Saya mainkan "mati". Time's up. Saya harus berhenti dan memberikan giliran kepada orang lain. 😢

Bagi sebagian orang, kehidupan nampaknya berjalan terlalu cepat. ⌚⌛

Menyesuaikan konteks, mungkin "kehidupan" dapat digantikan dengan kata "liburan", "masa muda", "masa emas dalam bisnis atau karier", dan masih banyak lagi.

Layaknya suasana Natal yang erat dengan romansa dan nostalgia, move on dari irisan lokasi, kondisi atau sensasi aman dan nyaman bukanlah hal yang natural maupun intuitif bagi kita.

Kita merasa "tertinggal" dalam laju kehidupan. Kita ingin tinggal di suatu "lokus" tertentu, atau mungkin sebaliknya, kita desperate agar sesuatu tetap tinggal bersama kita. Kondisi yang mungkin digambarkan sebagai "kegelapan", "dingin" atau "kesunyian mencekam" ini terasa semakin intens di tengah masalah atau pergumulan tertentu dalam kehidupan kita.


Layaknya berada dalam pengasingan, kita merasa out of place dan merindukan sebuah "perjalanan pulang", kembali ke sesuatu yang terkadang tak mampu kita gambarkan sepenuhnya. Kita hanya tahu bahwa ia pernah ada, atau kita pernah ada di sana, and it was once good.

Tish Harrison Warren dalam bukunya, "Liturgy of The Ordinary" menggambarkan secara empatik pasang surut kehidupan manusia melalui ilustrasi hidangan harian. 

Layaknya kehidupan yang tak selalu "dinner Cantik atau makan mevvah", Warren merefleksikan bagaimana ekaristi menjadi perayaan inkarnasi Allah yang menyeruak dalam (sekaligus solider dengan) kisah kita. Kehadiran Kristus dalam apapun yang kita nikmati atau terpaksa "ditelan" hari ini, entah itu perayaan meriah, senyum tawa, ataupun ratap tangis dan derita.


Saat merenungkan sejumlah paralelisme tadi, kita diundang untuk mengimajinasikan kembali makna Kabar Baik. Sang Penebus yang telah hadir ke dalam kegelapan dunia, kini Dia pun turut menubuh dalam sepi dan liku nya perjalanan kita.

"Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran." (Yoh 1:14)

Kristus yang kelak akan memulihkan segala sesuatu, Dia pulalah yang telah memulainya kini dan bersama kita. An immanent God, Yang Kekal dan tak terhampiri telah menetap bersama kita saat ini dan setiap hari.

"Lalu aku mendengar suara yang nyaring dari takhta itu berkata: "Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan diam bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya dan Ia akan menjadi Allah mereka." (Wahyu 21:3)

Kabar yang sungguh baik, bahwa dalam kelana panjang inipun kita dapat menetap di dalam Sang Kasih itu.  Natal hadir justru untuk mengingatkan kita bahwa tak ada satu hal pun yang mampu membuat kita "tertinggal" untuk menikmati kasih dan sukacita Allah.

You can never miss Christmas because He whom Christmas celebrates stays evermore with you.  It was once good. He has made it good again. He's with us and all will be well.💕🙏🪷🎄🫰


Tuesday, January 24, 2023

Menjawab Konsep "Pemberesan" dan Mewaspadai Teologi Kemakmuran



Tanya :

Apa betul bahwa Yakub itu ketika bertemu Esau sudah mengembalikan hak kesulungan yg dia tipu dari Esau, sehingga Yakub diberkati Tuhan menjadi kaya? Itu jg sebabnya dia panggil Esau sbg Tuan dan Yakub mengaku sbg hamba? Karena sdh melakukan pemberesan makanya Yakub diberkati. Jadi kalau kita melihat orang miskin, pasti karena ada yg tdk beres dlm hidupnya? Kalau ada "pemberesan", pasti akan kaya dan diberkati?


Jawab :

Kisah kepulangan Yakub dari rumah Laban kembali ke rumah Ishak tercatat dalam Kejadian 32-33, dan tidak ada indikasi dari teks ini yang mengatakan bahwa Yakub mengembalikan hak kesulungan kepada Esau.

Mungkin sebelum kita melangkah lebih jauh kita pertama-tama harus mendefinisikan apa itu hak kesulungan. 

Dalam Perjanjian Lama hak kesulungan tidak diartikan sebagai ahli waris utama seperti zaman sekarang. Jadi, hak kesulungan tidak sama dengan dia akan menerima semua warisan harta Ishak, berikut budak-budak dan kambing dombanya. Sebab toh setelah menerima hak kesulungan, si Yakub malah kabur dan memulai dari nol di tempat Laban, which means, dia tidak terima harta Ishak. 

Dan toh ketika Yakub bertemu kembali dengan Esau, Esau sudah jauh lebih kaya dari Yakub. Yakub pulang dengan ditemani oleh keluarga dan sedikit budak, sementara Esau menyambut Yakub dengan 400 orang, “Yakubpun melayangkan pandangnya, lalu dilihatnyalah Esau datang dengan diiringi oleh empat ratus orang.” (Kej. 33:1). Dan ketika Yakub hendak memberikan persembahan kepada Esau, Esau menolak dengan ringannya, "Aku mempunyai banyak, adikku; peganglah apa yang ada padamu." (Kej. 33:9)

Jadi hak kesulungan tidak sama dengan berkat duniawi.

Dan hal ini semakin dikonfirmasi di dalam fakta bahwa setelah menerima hak kesulungan hidup Yakub yang penuh tipu daya tetap tidak berubah. 

Pertama-tama dia ditipu oleh Laban dengan diberikan Lea, sekalipun dia bekerja 7 tahun untuk Rahel. 

Setelah itu dia juga menipu Laban dalam kasus domba yang berbintik-bintik “Tetapi apabila datang kambing domba yang lemah, ia tidak meletakkan dahan-dahan itu ke dalamnya. Jadi hewan yang lemah untuk Laban dan yang kuat untuk Yakub.” (Kej. 30:42). 

Lalu Rahel sendiri pernah menjual Yakub kepada Lea dengan bayaran buah dudaim, “Ketika Yakub pada waktu petang datang dari padang, pergilah Lea mendapatkannya, sambil berkata: "Engkau harus singgah kepadaku malam ini, sebab memang engkau telah kusewa dengan buah dudaim anakku." Sebab itu tidurlah Yakub dengan Lea pada malam itu. (Kej. 30:16)”

Bahkan sampai akhir, Rahel juga menipu ayahnya sendiri dalam kasus berhala emas Terafim yang disembunyikannya dengan berkata dia sedang haid, “Ketika itulah Rahel mencuri terafim ayahnya. (Kej. 31:19)”

Jadi seluruh kisah Yakub adalah kisah penipu yang ditipu dan berbalik menipu dan kembali ditipu. Di satu sisi ironis; tapi di sisi lain, fakta bahwa dia yang menipu hak kesulungan saudara kembarnya sendiri dengan semangkok kacang merah, sekarang dijual oleh istri kesayangannya dengan buah dudaim, terasa sangat pas dan adil.

Sebaliknya, dalam kasus Esau kita melihat hal yang berbeda. Sementara kehidupan Yakub digambarkan penuh konflik, kehidupan Esau digambarkan sangat rapih dan baik. 

Kita tidak boleh lupa bahwa yang pertama kali menginisiasikan perdamaian bukan Yakub, tapi Esau. “Tetapi Esau berlari mendapatkan dia, didekapnya dia, dipeluk lehernya dan diciumnya dia, lalu bertangis-tangisanlah mereka.” (Kej. 33:4). Jadi jika ada pemberesan, pemberesan adalah jasa Esau yang memilih mengasihi alih-alih menuntut balas.

Dan kita tidak boleh lupa juga bahwa Esau telah terbukti lebih maju daripada Yakub. Kejadian 36 mencatat, “Inilah raja-raja yang memerintah di tanah Edom, sebelum ada seorang raja memerintah atas orang Israel.” (Kej. 36:31)

Jadi hak kesulungan sama sekali tidak menunjukkan berkat duniawi. Dalam hitungan apapun Esau tetap ada di atas Yakub.

Jadi kalau begitu, apa itu hak kesulungan? Menurut Roma 9:13, hak kesulungan sebenarnya adalah pemilihan Allah. Sesuai dengan perjanjian yang dibuat oleh Abraham, siapapun yang mendapat hak kesulungan akan meneruskan janji bahwa dia dipilih sebagai bangsa pilihan Allah. Oleh sebab itulah formula berkat kesulungan dari Ishak sama persis dengan formula berkat yang disampaikan Allah kepada Abraham, “Siapa yang mengutuk engkau, terkutuklah ia, dan siapa yang memberkati engkau, diberkatilah ia." (Kej. 27:29) bandingkan “Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat." (Kej. 12:3).

Jadi apa yang didapatkan dari hak kesulungan? Yang didapatkan adalah Allah sendiri, dan hal ini menjadikan respons Esau menjadi begitu menghina Tuhan, “Demikianlah Esau memandang ringan hak kesulungan itu.” (Kej. 25:34) sebab memandang ringan hak kesulungan sama dengan memandang ringan Tuhan dan perjanjian-Nya. 

Itulah sebabnya mengapa di sepanjang kisah hidup Yakub yang kacau balau kita tetap melihat jejak anugerah Allah. Allah hadir dalam mimpi di Bethel ketika Yakub kabur dari rumah Ishak menuju rumah Laban, dan Allah yang sama hadir bergumul dengan Yakub semalam-malaman ketika Yakub kabur dari rumah Laban untuk kembali ke rumah Ishak. 

Apa yang menyebabkan si penipu ini layak menerima Tuhan lebih dari Esau? Tidak ada! Tuhan menyertai Yakub bukan karena Yakubnya, tapi karena kasih karunia-Nya sendiri.

Itulah sebabnya Paulus menulis sebagai kelanjutan dari Roma 9:13, ”Sebab Ia berfirman kepada Musa: "Aku akan menaruh belas kasihan kepada siapa Aku mau menaruh belas kasihan dan Aku akan bermurah hati kepada siapa Aku mau bermurah hati." Jadi hal itu tidak tergantung pada kehendak orang atau usaha orang, tetapi kepada kemurahan hati Allah. (Rom. 9:15-16)“

Tuhanlah yang berdaulat meneruskan hak kesulungan pemilihan-Nya kepada siapapun yang Dia kehendaki. Tapi apakah Tuhan tidak adil dalam kasus Yakub dan Esau? Tidak! Dia menunjukkan keadilan-Nya, sebab Yakub yang menipu digambarkan memiliki hidup yang berantakan, dan Esau yang ditipu secara status duniawi ada di atas Yakub. Namun dalam hal kasih karunia, tetap Allah memilh Israel dan bukan Edom. 

Jika demikian, maka, pembahasan tentang hak kesulungan tidak boleh dibawa ke ranah berkat. Dan premis bahwa Yakub diberkati karena dia sudah melakukan pemberesan juga tidak benar. 

Bagian hidup Yakub yang mana yang diberkati sebenarnya? Sesudah dia berdamai dengan Esau, kita tahu anaknya, Dina, diperkosa; dan sekalipun solusi baik telah ditemukan, tetap anaknya Yakub, Simeon dan Lewi membunuh satu bangsa secara tidak adil (Kej 34:30), tidak lama setelah itu Yusuf dijual, tidak lama setelah itu anak Yakub yang lain berlaku tidak adil dengan Tamar menantunya, tidak lama setelah itu satu keluarga Yakub dilanda kelaparan sehingga mereka harus mencari pertolongan ke Mesir, tidak lama setelah itu Yakub mengungsi ke Mesir dan jadi orang asing, dan tidak lama setelah itu dia diperbudak selama 400 tahun. 

Bagian mana yang menunjukkan berkat materi dan berkat damai sejahtera kehidupan? Yakub terus menuai drama keluarga akibat dari kesalahannya yang menipu kakak kembarny dan ayahnya di ranjang kematiannya. Tapi melalui semua ini, satu yang bertahan: kasih karunia Allah. sekalipun Israel bebal seperti apa, Tuhan tetap sayang. Tidakkah ini berkat sesungguhnya? Tidakkah motif anugerah ini yang lebih menonjol dari kisah Yakub?

Maka kisah Yakub dan Esau dan hak kesulungan tidak menonjolkan kehebatan pemberesan Yakub dan berkat materi yang datang karenanya, tapi justru menonjolkan kehebatan kesetiaan Allah yang terus bertahan; sebab sama seperti Yakub yang penuh keputusan dan pilihan hidup yang salah, kita juga tidak jauh berbeda. Sama seperti Yakub yang egois dan dikendalikan nafsu, kita juga sama. Tapi kalau Allah bertahan kepada pribadi kacau balau seperti Yakub, maka Allah yang sama juga akan bertahan dengan pribadi under construction seperti kita. 

Akhirnya, kisah Yakub menjadi kabar baik buat kita yang broken.  


PS: sementara itu, panggilan tuan dan hamba dalam Kejadian 32-33 hanya digunakan untuk menunjukkan sikap merendahkan diri. Sebagai pihak yang memang salah, wajar jika Yakub merendahkan diri dan menyebut diri hamba dan menyebut Esau tuan. Ini adalah hal yang lumrah dalam dunia tata krama, sama seperti orang Jawa menyebut diri sebagai “abdi”. Itu sama sekali tidak menandakan terjadi pemulangan hak kesulungan.


Narasumber :

Pdt. Chandra Julianto, M.Th (bibl. PL)

Teaching Pastor, GMII Reformasi Liturgi