Monday, January 22, 2024

Mencintai (Seperti Kristus) Hingga Terluka

(Atau Melukai dengan Dalih Cinta akan Kristus?)



A masih terus teringat bagaimana ruang kerjanya dikatakan gelap "dan mengundang roh-roh jahat" oleh sang mertua. Warna ungu dan hijau dipilihnya sebagai ekspresi kreativitas untuk menyemangatinya saat hendak merintis karier di suatu bidang kreatif. Setiap memandang dinding ruangan tersebut ia teringat pula bahwa tak lama setelah mengecat ruangan tersebut ia harus merelakan kepergian sang ibu kandung karena sakit yang mendadak.


B mengalami serangan kepanikan setiap kali diundang menghadiri acara keluarga besar di akhir tahun. Tahun lalu paman nya "menjebaknya" lewat undangan makan malam dimana B "ditegur" di muka umum karena tidak mengetahui bahwa Ayah B mengalami sakit dan perlu ditemani untuk pemeriksaan medis. Saat itu B sedang berusaha memperbaiki hubungan dengan sang Ayah pasca pertengkaran yang baru saja terjadi. Di tengah pergumulan finansial, B juga masih bergumul dengan dampak kekerasan verbal sang Ayah kepadanya bertahun-tahun lamanya.


C mengaku trauma berinteraksi dan terbuka dengan anggota maupun aktivis Gereja. Saat pandemi melanda, ia mendadak didiagnosa sakit kronis parah yang memaksanya undur dari berbagai kegiatan daring. Saat membaik dan mampu bergabung, C membagikan sejumlah wawasan baru biblika temuannya yang menjawab banyak keraguan dan pertanyaan eksistensialnya. Di luar dugaan, ia ditanggapi dingin dan sinis, dituduh sesat tanpa dialog yang memadai. Absen C yang lampau pun dianggap sebagai tindakan "ghosting" (melarikan diri) terhadap Tuhan.


Hal yang mungkin paling menyedihkan dari ketiga kisah tadi adalah, selain dari A, B, C, semua pihak yang dikisahkan tadi adalah mereka yang juga "mengakui" ketuhanan Yesus Kristus dan "mengikuti" ajaran Kitab Suci. Bukanlah rahasia, layaknya peradaban, sejarah Gereja pun diwarnai perselisihan karena perbedaan. Demi membela "kebenaran" tertentu, kita sanggup melakukan atau setidaknya "complicit" (membiarkan) pengucilan, pelecehan bahkan kekerasan verbal maupun fisik terhadap mereka yang dianggap "orang luar" atau lawan.

Mungkin kita lupa bahwa Yesus yang kita panggil Guru dan Tuhan (Yoh 13:13) adalah juga sahabat pemungut cukai dan para pendosa (pengkhianat, yang dianggap rusak moral, sosial dan spiritualnya) (Mat 11:19, Luk 7:34). Apa itu "sahabat"? Mereka yang tersingkir bisa menjawabnya. Yesus memang tidak berpartisipasi dalam kedosaan, namun Saya yakin, Ia pun tak sekadar menjadikan mereka "proyek penginjilan". Yesus sungguh menjadi sahabat, pendengar dan penolong yang tulus (Ams 17:17) kala orang lain mengutuk dan menolak.

Mungkin kita tidak mengetahui studi historis yang mengindikasikan bahwa hamba perwira yang dimohonkan kesembuhannya itu (bdk. Mat 8:5-13, Luk 7:1-10) amat mungkin adalah juga pasangan (intim) sang perwira yang tentu berlangsung secara "tidak pantas". Kepada orang inilah (yang mungkin memandang Yesus dari lensa "sesat" panteon Romawi sebagai Dewa Kesembuhan) Yesus memberikan pengakuan atas "imannya" (Mat 8:10). Darinyalah diambil kalimat dalam ritus ekaristi Gereja Roma, "tapi bersabdalah saja maka Saya akan sembuh".

Mungkin saat mendengar kata "sida-sida" (Kis 8:26-40), kita tidak paham bahwa mereka adalah para pria yang demi mengabdi kepada penguasa, mengalami proses "modifikasi" menyakitkan yang menyebabkan mereka tak lagi jelas status gender nya. Dan terhadap manusia "queer" (aneh, berbeda, menyimpang) yang disentuh hatinya oleh Injil dan penuh kerinduan akan Kristus ini, Filipus tidak melihat halangan apapun untuk menyambutnya ke dalam Gereja, keluarga Allah.

Mungkin saat membaca Kitab Yunus, kita sibuk berdebat tentang makhluk apakah yang menelan Yunus. Kita lupa bahwa awak kapal yang tidak mengenal Allah Israel maupun warga Niniwe yang masa lalunya kelam, semuanya dipandang Allah sebagai milik-Nya yang layak dikasihi dan diselamatkan. Bahwa "tanda Yunus" yang dibicarakan Yesus (Mat 12:39; 16:4; Luk 11:29-30) tidak hanya bermakna kematian dan kebangkitan-Nya namun juga sebagai pewahyuan tentang penerimaan Allah bagi semua. (Dan bahwa justru Yunuslah monsternya).  Dan sebagaimana Kitab Yunus ditutup tanpa menceritakan tanggapan Yunus atas Firman Allah mengenai kasih-Nya itu, mungkin inilah saatnya Gereja lewat tindakan kasih penerimaan yang nyata menjadikan dirinya jawaban atas pertanyaan ini ..

Matius 16:15 (TB)  

Lalu Yesus bertanya kepada mereka: "Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?"



Refleksi lainnya :



Tuesday, January 9, 2024

Sungguh Perlulah Dosa Adam


Sebuah Demistifikasi dan Reimajinasi Pengakuan Dosa

Oleh: Felix Zhao

Tetapi ular itu berkata kepada perempuan itu: "Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat."

Kejadian 3:4-5


Sebagian orang berpikir (atas konstruksi teologis para pendahulu) bahwa dosa masuk ke dalam dunia (berikut konsekuensi terkutuknya) karena pelanggaran manusia nun jauh di waktu lampau. (Bdk. Kej 3:6, 17-19; Rm 5:12; 6:23a). Tak butuh retorika rumit untuk menarik benang merah dari kisah Kejadian 3:4-5 dengan brokenness yang menjadi wajah dunia dan masa yang kita hidupi hari ini. 

Nampaknya Kejadian 3 tak mutlak mensyaratkan akurasi historis maupun kosmologis untuk dapat menggambarkan betapa rapuh dan ringkihnya kita, manusia yang tak mampu "mencukupkan dirinya dengan Allah yang Mahatahu". Kita kerap "ingin menjadi tahu seperti Allah" akan apa yang baik dan jahat (Ibrani: "ra" רע= jahat, buruk, bencana), untuk bertindak atas interpretasi baik-buruk yang subjektif-egoistik mengenai apa yang terjadi maupun yang ingin diwujudkannya.

Di saat bersamaan, Saya tidak menampikkan "godaan" untuk berkutat dalam polemik hamartologi (diskursus biblika mengenai dosa) yang nampaknya rentan menghasilkan klaim-klaim kontroversial dan eskapis (mengelak, mengabaikan) ketimbang konstruktif dalam menanggapi masalah kolektif yang dihadapi dunia hari ini sebagai rumah kita bersama.


Kita kerap lupa bahwa memakai software bajakan sama buruknya dengan "dosa moral" lainnya.

Bahwa menggunakan lampu hazard atau bahu jalan saat berkendara untuk alasan non-emergency adalah sama salahnya dengan mencuri. 

Bahwa mengurangi honor rekanan kita atau menghindari pajak adalah sama berdosanya dengan "menyembah ilah lain". 

Bahwa ecological recklessness adalah pembangkangan terhadap Sang Pencipta dan penghinaan terhadap Sang Penebus Dunia.

Saya menyadari bahwa layaknya iman, rahmat dan keselamatan, selalu ada
kemungkinan untuk melupakan bahwa dosa memiliki dimensi komunal selain personal. Saya dapat jatuh dalam pengabaian bahwa dosa itu juga sistemik alih-alih sekadar praktis dan kasuistis. Saya bisa saja berteologi dan mempraktekkan suatu "kesaksian nyata" sekaligus melupakan bahwa kerapuhan kita adalah perkara di dalam sebelum ia terpampang keluar.

Namun demikian, narasi keberdosaan dalam Injil tidak paripurna pada penghakiman, apalagi pada tindak kesalehan eksternal, melainkan kepada rahmat Allah yang internally and inwardly transformative. Konsekuensi dari pemilahan ini adalah se-krusial antara mengenali dan mengakomodasi narsisisme diri ataukah mengakui kedaulatan Allah.

"Tetapi hukum Taurat ditambahkan, supaya pelanggaran menjadi semakin banyak; dan di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah.." (Roma 5:20)

Baiklah kita menilik dan merefleksikan kembali keberdosaan dan kerapuhan sebagai bagian dari realita penantian kita akan kegenapan rahmat Allah. Menyadari kelemahan kita adalah praktek rohani yang sehat. Ia bukan permisif terhadap dosa maupun menegasi genapnya karya salib, namun untuk menundukkan "egoisme pertobatan" dan menenggelamkan diri kita dalam rahmat Allah.

Selain gesture liturgi simbolik, pertobatan barulah menjadi utuh dan hidup melalui aksi nyata, seeking repair atas kealpaan kita maupun cideranya lingkungan dan sesama.

Realitanya, kita tidak kebal dosa. Realitanya, rahmat itu melimpah bagi yang mengakuinya dan mengambil langkah nyata demi pemulihan dunianya Allah.

O certe necessárium Adæ peccátum, quod Christi morte delétum est!

O felix culpa, quæ talem ac tantum méruit habére Redemptórem!

(Oh sungguh perlulah dosa Adam, sehingga dilebur sepenuhnya oleh wafat Kristus, oh cela yang membahagiakan karena mendatangkan Penebus yang Mulia!)

--- The Exsultet of Latin Mass Paschal

Wednesday, January 3, 2024

Is It Late for Christmas?


Reimaginasi tentang Ketertinggalan, Perjalanan dan Menetap

 

By Felix Zhao

(Proposed as part of Instagram devotionals @reformasiliturgi)



Setiap berakhirnya "musim" Natal, Saya memiliki kebiasaan membiarkan pohon natal maupun ornamen Natal lainnya di ruang keluarga hingga akhir Januari.  Kemasan pernak pernik baru keluar dari penyimpanan setelah peringatan nyaris dilayangkan oleh seisi rumah secara tertulis. 🤭🤣

Kenangan masa kecil membawa Saya ke era permainan "digital arcade" atau saat menumpang bermain "video game" di rumah tetangga. 🎮 🎯  Saat paling menyedihkan adalah ketika menyadari bahwa koin Saya telah habis atau saat karakter "video game" yang Saya mainkan "mati". Time's up. Saya harus berhenti dan memberikan giliran kepada orang lain. 😢

Bagi sebagian orang, kehidupan nampaknya berjalan terlalu cepat. ⌚⌛

Menyesuaikan konteks, mungkin "kehidupan" dapat digantikan dengan kata "liburan", "masa muda", "masa emas dalam bisnis atau karier", dan masih banyak lagi.

Layaknya suasana Natal yang erat dengan romansa dan nostalgia, move on dari irisan lokasi, kondisi atau sensasi aman dan nyaman bukanlah hal yang natural maupun intuitif bagi kita.

Kita merasa "tertinggal" dalam laju kehidupan. Kita ingin tinggal di suatu "lokus" tertentu, atau mungkin sebaliknya, kita desperate agar sesuatu tetap tinggal bersama kita. Kondisi yang mungkin digambarkan sebagai "kegelapan", "dingin" atau "kesunyian mencekam" ini terasa semakin intens di tengah masalah atau pergumulan tertentu dalam kehidupan kita.


Layaknya berada dalam pengasingan, kita merasa out of place dan merindukan sebuah "perjalanan pulang", kembali ke sesuatu yang terkadang tak mampu kita gambarkan sepenuhnya. Kita hanya tahu bahwa ia pernah ada, atau kita pernah ada di sana, and it was once good.

Tish Harrison Warren dalam bukunya, "Liturgy of The Ordinary" menggambarkan secara empatik pasang surut kehidupan manusia melalui ilustrasi hidangan harian. 

Layaknya kehidupan yang tak selalu "dinner Cantik atau makan mevvah", Warren merefleksikan bagaimana ekaristi menjadi perayaan inkarnasi Allah yang menyeruak dalam (sekaligus solider dengan) kisah kita. Kehadiran Kristus dalam apapun yang kita nikmati atau terpaksa "ditelan" hari ini, entah itu perayaan meriah, senyum tawa, ataupun ratap tangis dan derita.


Saat merenungkan sejumlah paralelisme tadi, kita diundang untuk mengimajinasikan kembali makna Kabar Baik. Sang Penebus yang telah hadir ke dalam kegelapan dunia, kini Dia pun turut menubuh dalam sepi dan liku nya perjalanan kita.

"Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran." (Yoh 1:14)

Kristus yang kelak akan memulihkan segala sesuatu, Dia pulalah yang telah memulainya kini dan bersama kita. An immanent God, Yang Kekal dan tak terhampiri telah menetap bersama kita saat ini dan setiap hari.

"Lalu aku mendengar suara yang nyaring dari takhta itu berkata: "Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan diam bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya dan Ia akan menjadi Allah mereka." (Wahyu 21:3)

Kabar yang sungguh baik, bahwa dalam kelana panjang inipun kita dapat menetap di dalam Sang Kasih itu.  Natal hadir justru untuk mengingatkan kita bahwa tak ada satu hal pun yang mampu membuat kita "tertinggal" untuk menikmati kasih dan sukacita Allah.

You can never miss Christmas because He whom Christmas celebrates stays evermore with you.  It was once good. He has made it good again. He's with us and all will be well.💕🙏🪷🎄🫰