Wednesday, January 3, 2024

Is It Late for Christmas?


Reimaginasi tentang Ketertinggalan, Perjalanan dan Menetap

 

By Felix Zhao

(Proposed as part of Instagram devotionals @reformasiliturgi)



Setiap berakhirnya "musim" Natal, Saya memiliki kebiasaan membiarkan pohon natal maupun ornamen Natal lainnya di ruang keluarga hingga akhir Januari.  Kemasan pernak pernik baru keluar dari penyimpanan setelah peringatan nyaris dilayangkan oleh seisi rumah secara tertulis. 🤭🤣

Kenangan masa kecil membawa Saya ke era permainan "digital arcade" atau saat menumpang bermain "video game" di rumah tetangga. 🎮 🎯  Saat paling menyedihkan adalah ketika menyadari bahwa koin Saya telah habis atau saat karakter "video game" yang Saya mainkan "mati". Time's up. Saya harus berhenti dan memberikan giliran kepada orang lain. 😢

Bagi sebagian orang, kehidupan nampaknya berjalan terlalu cepat. ⌚⌛

Menyesuaikan konteks, mungkin "kehidupan" dapat digantikan dengan kata "liburan", "masa muda", "masa emas dalam bisnis atau karier", dan masih banyak lagi.

Layaknya suasana Natal yang erat dengan romansa dan nostalgia, move on dari irisan lokasi, kondisi atau sensasi aman dan nyaman bukanlah hal yang natural maupun intuitif bagi kita.

Kita merasa "tertinggal" dalam laju kehidupan. Kita ingin tinggal di suatu "lokus" tertentu, atau mungkin sebaliknya, kita desperate agar sesuatu tetap tinggal bersama kita. Kondisi yang mungkin digambarkan sebagai "kegelapan", "dingin" atau "kesunyian mencekam" ini terasa semakin intens di tengah masalah atau pergumulan tertentu dalam kehidupan kita.


Layaknya berada dalam pengasingan, kita merasa out of place dan merindukan sebuah "perjalanan pulang", kembali ke sesuatu yang terkadang tak mampu kita gambarkan sepenuhnya. Kita hanya tahu bahwa ia pernah ada, atau kita pernah ada di sana, and it was once good.

Tish Harrison Warren dalam bukunya, "Liturgy of The Ordinary" menggambarkan secara empatik pasang surut kehidupan manusia melalui ilustrasi hidangan harian. 

Layaknya kehidupan yang tak selalu "dinner Cantik atau makan mevvah", Warren merefleksikan bagaimana ekaristi menjadi perayaan inkarnasi Allah yang menyeruak dalam (sekaligus solider dengan) kisah kita. Kehadiran Kristus dalam apapun yang kita nikmati atau terpaksa "ditelan" hari ini, entah itu perayaan meriah, senyum tawa, ataupun ratap tangis dan derita.


Saat merenungkan sejumlah paralelisme tadi, kita diundang untuk mengimajinasikan kembali makna Kabar Baik. Sang Penebus yang telah hadir ke dalam kegelapan dunia, kini Dia pun turut menubuh dalam sepi dan liku nya perjalanan kita.

"Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran." (Yoh 1:14)

Kristus yang kelak akan memulihkan segala sesuatu, Dia pulalah yang telah memulainya kini dan bersama kita. An immanent God, Yang Kekal dan tak terhampiri telah menetap bersama kita saat ini dan setiap hari.

"Lalu aku mendengar suara yang nyaring dari takhta itu berkata: "Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan diam bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya dan Ia akan menjadi Allah mereka." (Wahyu 21:3)

Kabar yang sungguh baik, bahwa dalam kelana panjang inipun kita dapat menetap di dalam Sang Kasih itu.  Natal hadir justru untuk mengingatkan kita bahwa tak ada satu hal pun yang mampu membuat kita "tertinggal" untuk menikmati kasih dan sukacita Allah.

You can never miss Christmas because He whom Christmas celebrates stays evermore with you.  It was once good. He has made it good again. He's with us and all will be well.💕🙏🪷🎄🫰


No comments:

Post a Comment