Tuesday, January 9, 2024

Sungguh Perlulah Dosa Adam


Sebuah Demistifikasi dan Reimajinasi Pengakuan Dosa

Oleh: Felix Zhao

Tetapi ular itu berkata kepada perempuan itu: "Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat."

Kejadian 3:4-5


Sebagian orang berpikir (atas konstruksi teologis para pendahulu) bahwa dosa masuk ke dalam dunia (berikut konsekuensi terkutuknya) karena pelanggaran manusia nun jauh di waktu lampau. (Bdk. Kej 3:6, 17-19; Rm 5:12; 6:23a). Tak butuh retorika rumit untuk menarik benang merah dari kisah Kejadian 3:4-5 dengan brokenness yang menjadi wajah dunia dan masa yang kita hidupi hari ini. 

Nampaknya Kejadian 3 tak mutlak mensyaratkan akurasi historis maupun kosmologis untuk dapat menggambarkan betapa rapuh dan ringkihnya kita, manusia yang tak mampu "mencukupkan dirinya dengan Allah yang Mahatahu". Kita kerap "ingin menjadi tahu seperti Allah" akan apa yang baik dan jahat (Ibrani: "ra" רע= jahat, buruk, bencana), untuk bertindak atas interpretasi baik-buruk yang subjektif-egoistik mengenai apa yang terjadi maupun yang ingin diwujudkannya.

Di saat bersamaan, Saya tidak menampikkan "godaan" untuk berkutat dalam polemik hamartologi (diskursus biblika mengenai dosa) yang nampaknya rentan menghasilkan klaim-klaim kontroversial dan eskapis (mengelak, mengabaikan) ketimbang konstruktif dalam menanggapi masalah kolektif yang dihadapi dunia hari ini sebagai rumah kita bersama.


Kita kerap lupa bahwa memakai software bajakan sama buruknya dengan "dosa moral" lainnya.

Bahwa menggunakan lampu hazard atau bahu jalan saat berkendara untuk alasan non-emergency adalah sama salahnya dengan mencuri. 

Bahwa mengurangi honor rekanan kita atau menghindari pajak adalah sama berdosanya dengan "menyembah ilah lain". 

Bahwa ecological recklessness adalah pembangkangan terhadap Sang Pencipta dan penghinaan terhadap Sang Penebus Dunia.

Saya menyadari bahwa layaknya iman, rahmat dan keselamatan, selalu ada
kemungkinan untuk melupakan bahwa dosa memiliki dimensi komunal selain personal. Saya dapat jatuh dalam pengabaian bahwa dosa itu juga sistemik alih-alih sekadar praktis dan kasuistis. Saya bisa saja berteologi dan mempraktekkan suatu "kesaksian nyata" sekaligus melupakan bahwa kerapuhan kita adalah perkara di dalam sebelum ia terpampang keluar.

Namun demikian, narasi keberdosaan dalam Injil tidak paripurna pada penghakiman, apalagi pada tindak kesalehan eksternal, melainkan kepada rahmat Allah yang internally and inwardly transformative. Konsekuensi dari pemilahan ini adalah se-krusial antara mengenali dan mengakomodasi narsisisme diri ataukah mengakui kedaulatan Allah.

"Tetapi hukum Taurat ditambahkan, supaya pelanggaran menjadi semakin banyak; dan di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah.." (Roma 5:20)

Baiklah kita menilik dan merefleksikan kembali keberdosaan dan kerapuhan sebagai bagian dari realita penantian kita akan kegenapan rahmat Allah. Menyadari kelemahan kita adalah praktek rohani yang sehat. Ia bukan permisif terhadap dosa maupun menegasi genapnya karya salib, namun untuk menundukkan "egoisme pertobatan" dan menenggelamkan diri kita dalam rahmat Allah.

Selain gesture liturgi simbolik, pertobatan barulah menjadi utuh dan hidup melalui aksi nyata, seeking repair atas kealpaan kita maupun cideranya lingkungan dan sesama.

Realitanya, kita tidak kebal dosa. Realitanya, rahmat itu melimpah bagi yang mengakuinya dan mengambil langkah nyata demi pemulihan dunianya Allah.

O certe necessárium Adæ peccátum, quod Christi morte delétum est!

O felix culpa, quæ talem ac tantum méruit habére Redemptórem!

(Oh sungguh perlulah dosa Adam, sehingga dilebur sepenuhnya oleh wafat Kristus, oh cela yang membahagiakan karena mendatangkan Penebus yang Mulia!)

--- The Exsultet of Latin Mass Paschal

No comments:

Post a Comment