Sunday, March 9, 2025

EKARISTI DAN PERSAHABATAN ALLAH

Refleksi Keramah-tamahan Allah dan Reimajinasi Misi, Evangelisasi dan Katekisasi


 

Saya tersipu menyeka wajah yang basah karena air mata yang mendadak deras mengalir tanpa permisi di tengah momen "konsekrasi" Ekaristi pagi ini. Pikiran ini berpacu mencoba merasionalisasi mengapa dialog (yang kali ini dinyanyikan oleh imam) menjelang hosti dibagikan, mendadak membuat Saya demikian emosional.

Memori saya terkunci pada saat imam mendaraskan "Inilah Anak Domba, Penyelamat kita" dan lantas mengutip Sabda Yesus dalam Yohanes 15:13, "Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya."

"Sahabat".. betapa berharganya dan dirindukannya sebuah persahabatan sejati itu.

Pelacakan berlanjut, saya terhenti pada makna kata "sahabat" jauh sebelum Magna Carta, sebelum banyaknya institusi dan deklarasi yang diupayakan dalam melindungi hak hidup manusia. Setiap jabat tangan adalah tanda bahwa Anda tak menyembunyikan senjata untuk melumpuhkan atau merampok saya. Persahabatan tidak hanya bicara tentang kebutuhan emosional sekunder dengan konotasi feminin apalagi lemah. Persahabatan secara esensi bicara tentang ketersediaan interaksi yang aman baik secara fisik maupun mental, sebaliknya, hubungan tanpa keramahtamahan akan mendatangkan ancaman fisik maupun trauma psikologis.

Yosua 5:13 - Ketika Yosua dekat Yerikho, ia melayangkan pandangnya, dilihatnya seorang laki-laki berdiri di depannya dengan pedang terhunus di tangannya. Yosua mendekatinya dan bertanya kepadanya: "Kawankah engkau atau lawan?"

Sahabat saya, Pdt. DR. Timothy Athanasios, menggunakan permainan kata bahasa Ibrani untuk merangkum argumen Allah menghadapi gugatan Ayub yang menderita tanpa sebab, "Masakan Aku (Tuhan) tak dpt membedakan antara "Ayub" (איוב "Eyov") dengan "lawan" (אויב "Oyev")?"

Beberapa tahun ini, sejak mengalami dekonstruksi dalam penafsiran biblika yang fundamentalistik-eksklusivis menjadi lebih akademik dan kritis-tekstual, lantas renegosiasi teologis dari semula hiper-karismatik dan reform menjadi lebih kepada liturgis, universalis-humanis dan inklusif, saya mengalami masa-masanya disalahpahami & kehilangan banyak sahabat. Sebagian menganggap saya terlalu "rohani", namun yang lainnya menganggap saya "sesat", “liberal” bahkan “sosialis”.

Betapa mengejutkannya ketika dogma dan insecurity bisa mengorbankan relasi. Nampak pula mereka yang selama ini menjadikan “persahabatan” sebagai kamuflase untuk niatan meng-konversi keyakinan seseorang ke dalam kekristenan (versi mereka), maupun guna menjaga kita tetap dalam “pagar” komunitas mereka. Begitu terjadi perbedaan yang tak dapat direkonsiliasi, “persaudaraan” akan dikorbankan atas nama “mengutamakan kebenaran” atau argumen bahwa “dalam kasih-Nya, Allah pun akan mengirimkan jiwa-jiwa pendosa langsung menuju neraka”. Proyeksi ketakutan ke dalam teologi inilah yang belakangan ini ramai di kalangan evangelikalisme saat mereka mengecam Bishop Mariann Budde dengan tuduhan melakukan “dosa empati” ketika ia meminta Presiden AS terpilih, Donald Trump untuk menunjukkan belas kasih kepada para minoritas “queer” dan kaum migran.

Saya disadarkan akan keramah-tamahan Allah. Jika saya meyakini bahwa Allah itu mahatahu dan mahakuasa, maka saya patut mengakui bahwa Ia cukup secure untuk tetap bersahabat dengan saya, meski banyak pertanyaan sulit saya lemparkan pada Gereja-Nya. Ia tak akan merasa terancam ketika saya mengangkat begitu banyak kontadiksi teks "kekerasan" dalam Taurat dan kisah-kisah Perjanjian Lama, lantas berseru, "Yesus yang kukenal tak demikian, Aku tahu itu bukan isi hati-Mu!"

Ekaristi menyadarkan kita akan “amanat agung” Kristus, Sang Sahabat Kekal untuk semua. Panggilan untuk menjadikan segala bangsa murid-Nya (Mat 28:19-20) tidak dimaksudkan untuk mendirikan suatu “Christendom” atau Kerajaan Allah dalam bentuk teokrasi politik. Sebaliknya, menilik konteks historis Injil dan Kisah Para Rasul, komunitas Gereja perdana melayani mereka yang membutuhkan (bahkan mereka yang “di luar iman”) kendati mengalami aniaya, terancam, menjadi pelarian dan pengungsi, dan kondisi memprihatinkan lainnya. Ini menunjukkan bahwa hasrat untuk orang lain mengimani Kristus tidak pernah dimaksudkan untuk menggantikan kesaksian lewat pelayanan kasih serta tindakan mulia dan berbelas kasih*. Kesaksian dan resilience semacam inilah yang justru menjungkirbalikkan kekaisaran Roma dari kekaisaran yang menganiaya kekristenan menjadi kekaisaran yang mendorong warganya menjadi Kristen!**

Nampaknya, setelah berefleksi, saya kembali tersipu mengingat bagaimana dulu saya dalam kurangnya literasi teologis mendambakan lewat doa “syafaat” bahwa lingkungan saya menjadi lebih kristiani, atau bahwa negara tempat saya berada menjadi negara Kristen. Saya pernah berpikir bahwa itulah tanda penyertaan Allah dan bahwa Injil barulah dapat dikenal secara maksimal lewat Gereja yang nampak hebat, penuh mujizat, besar, atau lewat situasi yang “kondusif dan bersahabat” terhadap iman kita. Betapa salahnya saya.

Menutup refleksi ini, mari perhatikan dua ayat yang mengapit Yoh 15:13 tadi.

Ayat 12: “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.”

Ayat 14: “Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu.”

Yoh 15:12 bicara bahwa kasih Yesus yang besar itu datang dengan instruksi, yakni agar kita saling mengasihi. Dalam ayat 14 kita dapat merefleksikan sejarah iman dan Gereja, bagaimana mereka yang mengasihi Kristus dan berusaha menunjukkannya dalam ketaatan melaksanakan perintah-Nya kerap jatuh bangun dan nyaris tak pernah sepakat tentang apa yang terutama. Perselisihan Arius dan Athanasius yang bermuara pada konsili Nicea, skisma awal dan ekskomunikasi atau anatema antara Roma dan Ortodoksi Timur, reformasi Protestan, sejarah kelam perbudakan di berbagai koloni Barat dengan legitimasi Gereja dan Alkitab, adalah sebagian kisah dimana para kudus yang dipanggilnya juga adalah manusia-manusia rentan yang bergulat dengan keterbatasan pemahaman, bahkan dengan dosa dan keserakahan. Broken saints, that’s what we have been and what we are.

Mengingat semua itu, tanpa berasumsi bahwa saya dapat memberikan solusi yang ultima, momen “mistik” hari ini memberikan saya keyakinan dan harapan ekstra bahwa sebagai bagian Tubuh Kristus, kita dipanggil oleh Allah yang bersahabat itu untuk menjadi pula sahabat serta ruang aman bagi sesama musafir iman. Kita pasti bisa, kita harus bisa. Karena kesalahan doktrinal tak pernah lebih merusak ketimbang ketiadaan belas kasih.

Berkaca pada inkarnasi dan karya Yesus Kristus, saya berani berharap, mungkin Allah tidak sedemikian sulit untuk disenangkan, fakta bahwa setiap orang dari keyakinan maupun dogmatika kristiani yang berbeda-beda tetap dapat mengalami kehadiran, tuntunan dan damai sejahtera Allah cukup bagi saya sebagai bukti betapa universalis-nya Allah dan betapa inklusif kerajaan-Nya. Lagipula adakah yang tak mungkin bagi Dia?


"Tuhan Allahku, aku tidak tahu ke mana aku pergi. Aku tidak melihat jalan di depanku. Aku tidak tahu pasti di mana ujungnya. Aku juga tidak benar-benar mengenal diriku sendiri, dan kenyataan bahwa aku mengira mengikuti kehendak-Mu, tidak berarti aku benar-benar berbuat demikian. Tetapi aku percaya bahwa keinginan untuk menyenangkan Engkau pada kenyataannya (memang) menyenangkan Engkau." -- Thomas Merton.

 

Berkah Dalem

FZ 趙健忠 💞✍🙏

 

#9of30 #30harimenulis


Catatan kaki: 

* Ketika terjadi 2 wabah dahsyat yang melanda Kekaisaran Romawi pada tahun 165 dan 251 M, di luar Gereja, masyarakat tidak menunjukkan semangat rela berkorban. Sepertiga penduduk Imperium Romawi tewas karena wabah tersebut, para tabib melarikan diri ke rumah peristirahatan mereka di desa-desa, mereka yang menunjukkan gejala penyakit tersebut diusir dengan paksa dari rumah mereka, serta para pemimpin agama meninggalkan pelayanan mereka di rumah-rumah ibadah.

Namun orang-orang Kristen ini mengklaim bahwa mereka memiliki jawaban dan melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan oleh masyarakat. Jawaban mereka meliputi pengampunan dosa melalui Kristus Yesus dan pengharapan akan kehidupan kekal yang melampaui kematian.

Suatu pesan berharga bagi dunia yang “lumpuh”, putus asa, dan tidak berdaya.

Mengenai tindakan, Gereja merawat mereka yang sakit dan sekarat. Bahkan Uskup Dionisius dari Aleksandria menuliskan surat yang memuji perilaku Gereja:

“Sebagian besar dari saudara-saudara kita telah menun-jukkan kasih dan kesetiaan mereka tanpa batas, dengan tidak menahan-nahan dan hanya memikirkan orang lain. Tidak peduli akan bahaya yang ada, mereka merawat orang-orang miskin, mencukupi kebutuhan mereka dan mengarahkan mereka ke dalam Kristus, bahkan meninggalkan hidup ini bersama dengan orang-orang yang mereka rawat dalam kebahagiaan.”

Sejarah Gereja mencatat bahwa seiring berjalannya waktu, kepedulian terhadap orang-orang sakit dan miskin yang dilakukan demi nama Yesus, mengakibatkan suatu gerakan “counter culture” yang memenangkan banyak orang kepada Sang Kristus.

Dua abad kemudian, kaisar Romawi Julian the Apostate (332-363 M) yang ingin menyegarkan kembali agama Romawi kuno, melihat Kristenan sebagai ancaman yang terus bertumbuh. Ia menuliskan rasa frustrasinya kepada imam besar Romawi di Galatia:

“Ateisme (baca: Kekristenan) semakin maju melalui pelayanan kasih kepada orang-orang asing, dan melalui kepedulian mereka memakamkan orang-orang mati. Merupakan batu sandungan di sini bahwa tidak seorang Yahudi pun menjadi pengemis, dan bahwa orang-orang Galilea (baca: orang-orang Kristen) yang tak ber-tuhan itu tidak hanya memedulikan orang-orang miskin dari kalangan mereka, tetapi juga dari kalangan kita. Sedangkan mereka yang berasal dari kalangan kita tidak mendapat pertolongan dari kita sebagaimana mestinya.”

Hal ini melebarkan pandangan kita dari hanya sekadar liturgi ibadah di dalam Gereja, menjadi suatu budaya liturgi sosial; suatu aksi publik yang berpusat dan mengarah kepada Yang Ilahi. (Sumber: Reformasi Liturgi, hlm.39, 40)


** Pengangkatan (kaisar) Konstantinus merupakan titik balik bagi Kekristenan awal. Setelah kemenangannya, Konstantinus mengambil alih peran sebagai pelindung iman Kristen. Ia mendukung Gereja secara finansial, membangun sejumlah basilika , memberikan hak istimewa (misalnya, pembebasan pajak tertentu) kepada pendeta, mempromosikan orang Kristen ke jabatan tinggi, mengembalikan harta benda yang disita selama Penganiayaan Besar Diokletianus, [ 27 ] dan menganugerahkan tanah dan kekayaan lainnya kepada gereja. [ 28 ] Antara tahun 324 dan 330, Konstantinus membangun kota baru, Roma Baru , di Byzantium di Bosporos , yang kemudian diberi nama Konstantinopel untuknya. Tidak seperti Roma "lama", kota tersebut mulai menggunakan arsitektur Kristen yang terang-terangan, memiliki gereja-gereja di dalam tembok kota, dan tidak memiliki kuil-kuil dari agama lain yang sudah ada sebelumnya. [ 29 ]

Dalam melakukan hal ini, bagaimanapun, Konstantinus mengharuskan mereka yang belum masuk Kristen untuk membayar kota baru tersebut. [ 28 ] Para penulis sejarah Kristen mengatakan bahwa tampaknya Constantine perlu "mengajar rakyatnya untuk meninggalkan ritual mereka ... dan membiasakan mereka untuk membenci kuil-kuil mereka dan gambar-gambar yang ada di dalamnya," (sumber: Wikipedia)



Silakan klik beberapa kisah di bawah ini untuk membaca blog lengkapnya ...

Apakah menjadi "rata-rata" dalam memahami kitab suci itu tidak masalah (dalam tradisi yang menganggapnya sebagai otoritas iman yang tertinggi setelah Allah).

Apakah iman Kristiani yang otentik itu tidak "kompromi" dengan tradisi?

Ketika keyakinan kita malah menjadi hal yang toxic bagi dunia ..

Ketika dua orang buta disembukan oleh Yesus, kita diingatkan bahwa berbicara tentang dan kepada Sang Kristus adalah hak dan kehormatan setiap orang.

Mengapa obsesi "kebenaran absolut", membuktikan atau membela Alkitab malah menyebabkan kita kesulitan membacanya?

Jangan lekas tersulut dengan kritik soal menafsirkan Alkitab "semaunya", kita dan bahkan sang penuduh juga melakukannya koq 🤭🤭

Kenyataan diagnosa penyakit membawa saya merenungkan tentang kedewasaan dalam memahami iman yang melibatkan penerimaan akan realitas.

Dari Motto René Descartes, "Cogito Ergo Sum", mari menelusuri kontroversi dan polemik kekristenan konservatif versus progresif. Apakah pemikiran liberal adalah suatu kesesatan baru?

Apa hubungan perkembangan kosmologi dan fisika kuantum dalam menemukan kembali inklusivitas dalam dialog iman?

Segurat protes terhadap "tradisi" manipulasi narasi "alkitabiah" tentang kepatuhan dan pahala dalam relasi komunal termasuk bergereja.

Membingkai dosa dalam lensa keselamatan postmortem imajinatif personal (baca: "egoistik") terkadang membuat kita lupa bahwa dosa juga adalah sistem perusakan jalinan dunianya Allah, fisik & komunal.

No comments:

Post a Comment