Refleksi Keramah-tamahan Allah dan Reimajinasi Misi, Evangelisasi dan Katekisasi
Saya tersipu menyeka wajah yang basah karena air mata yang
mendadak deras mengalir tanpa permisi di tengah momen "konsekrasi"
Ekaristi pagi ini. Pikiran ini berpacu mencoba merasionalisasi mengapa dialog (yang
kali ini dinyanyikan oleh imam) menjelang hosti dibagikan, mendadak membuat
Saya demikian emosional.
Memori saya terkunci pada saat imam mendaraskan "Inilah
Anak Domba, Penyelamat kita" dan lantas mengutip Sabda Yesus dalam Yohanes
15:13, "Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang
memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya."
"Sahabat".. betapa berharganya dan dirindukannya
sebuah persahabatan sejati itu.
Yosua 5:13 - Ketika Yosua dekat Yerikho, ia melayangkan
pandangnya, dilihatnya seorang laki-laki berdiri di depannya dengan pedang
terhunus di tangannya. Yosua mendekatinya dan bertanya kepadanya:
"Kawankah engkau atau lawan?"
Sahabat saya, Pdt. DR. Timothy Athanasios, menggunakan
permainan kata bahasa Ibrani untuk merangkum argumen Allah menghadapi gugatan
Ayub yang menderita tanpa sebab, "Masakan Aku (Tuhan) tak dpt membedakan
antara "Ayub" (איוב "Eyov") dengan "lawan" (אויב
"Oyev")?"
Beberapa tahun ini, sejak mengalami dekonstruksi dalam
penafsiran biblika yang fundamentalistik-eksklusivis menjadi lebih akademik dan
kritis-tekstual, lantas renegosiasi teologis dari semula hiper-karismatik dan
reform menjadi lebih kepada liturgis, universalis-humanis dan inklusif, saya
mengalami masa-masanya disalahpahami & kehilangan banyak sahabat. Sebagian
menganggap saya terlalu "rohani", namun yang lainnya menganggap saya
"sesat", “liberal” bahkan “sosialis”.
Betapa mengejutkannya ketika dogma dan insecurity bisa mengorbankan relasi. Nampak pula mereka yang selama ini menjadikan “persahabatan” sebagai kamuflase untuk niatan meng-konversi keyakinan seseorang ke dalam kekristenan (versi mereka), maupun guna menjaga kita tetap dalam “pagar” komunitas mereka. Begitu terjadi perbedaan yang tak dapat direkonsiliasi, “persaudaraan” akan dikorbankan atas nama “mengutamakan kebenaran” atau argumen bahwa “dalam kasih-Nya, Allah pun akan mengirimkan jiwa-jiwa pendosa langsung menuju neraka”. Proyeksi ketakutan ke dalam teologi inilah yang belakangan ini ramai di kalangan evangelikalisme saat mereka mengecam Bishop Mariann Budde dengan tuduhan melakukan “dosa empati” ketika ia meminta Presiden AS terpilih, Donald Trump untuk menunjukkan belas kasih kepada para minoritas “queer” dan kaum migran.
Saya disadarkan akan keramah-tamahan Allah. Jika saya
meyakini bahwa Allah itu mahatahu dan mahakuasa, maka saya patut mengakui bahwa
Ia cukup secure untuk tetap bersahabat dengan saya, meski banyak
pertanyaan sulit saya lemparkan pada Gereja-Nya. Ia tak akan merasa terancam
ketika saya mengangkat begitu banyak kontadiksi teks "kekerasan" dalam
Taurat dan kisah-kisah Perjanjian Lama, lantas berseru, "Yesus yang
kukenal tak demikian, Aku tahu itu bukan isi hati-Mu!"
Ekaristi menyadarkan kita akan “amanat agung” Kristus, Sang
Sahabat Kekal untuk semua. Panggilan untuk menjadikan segala bangsa murid-Nya (Mat
28:19-20) tidak dimaksudkan untuk mendirikan suatu “Christendom” atau Kerajaan Allah
dalam bentuk teokrasi politik. Sebaliknya, menilik konteks historis Injil dan
Kisah Para Rasul, komunitas Gereja perdana melayani mereka yang membutuhkan (bahkan
mereka yang “di luar iman”) kendati mengalami aniaya, terancam, menjadi pelarian
dan pengungsi, dan kondisi memprihatinkan lainnya. Ini menunjukkan bahwa hasrat
untuk orang lain mengimani Kristus tidak pernah dimaksudkan untuk menggantikan kesaksian
lewat pelayanan kasih serta tindakan mulia dan berbelas kasih*. Kesaksian dan resilience
semacam inilah yang justru menjungkirbalikkan kekaisaran Roma dari
kekaisaran yang menganiaya kekristenan menjadi kekaisaran yang mendorong warganya
menjadi Kristen!**
Nampaknya, setelah berefleksi, saya kembali tersipu
mengingat bagaimana dulu saya dalam kurangnya literasi teologis mendambakan
lewat doa “syafaat” bahwa lingkungan saya menjadi lebih kristiani, atau bahwa
negara tempat saya berada menjadi negara Kristen. Saya pernah berpikir bahwa
itulah tanda penyertaan Allah dan bahwa Injil barulah dapat dikenal secara
maksimal lewat Gereja yang nampak hebat, penuh mujizat, besar, atau lewat situasi
yang “kondusif dan bersahabat” terhadap iman kita. Betapa salahnya saya.
Menutup refleksi ini, mari perhatikan dua ayat yang mengapit
Yoh 15:13 tadi.
Ayat 12: “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling
mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.”
Ayat 14: “Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa
yang Kuperintahkan kepadamu.”
Yoh 15:12 bicara bahwa kasih Yesus yang besar itu datang
dengan instruksi, yakni agar kita saling mengasihi. Dalam ayat 14 kita dapat
merefleksikan sejarah iman dan Gereja, bagaimana mereka yang mengasihi Kristus
dan berusaha menunjukkannya dalam ketaatan melaksanakan perintah-Nya kerap jatuh
bangun dan nyaris tak pernah sepakat tentang apa yang terutama. Perselisihan
Arius dan Athanasius yang bermuara pada konsili Nicea, skisma awal dan ekskomunikasi
atau anatema antara Roma dan Ortodoksi Timur, reformasi Protestan, sejarah
kelam perbudakan di berbagai koloni Barat dengan legitimasi Gereja dan Alkitab,
adalah sebagian kisah dimana para kudus yang dipanggilnya juga adalah manusia-manusia
rentan yang bergulat dengan keterbatasan pemahaman, bahkan dengan dosa dan
keserakahan. Broken saints, that’s what we have been and what we are.
Mengingat semua itu, tanpa berasumsi bahwa saya dapat memberikan solusi yang ultima, momen “mistik” hari ini memberikan saya keyakinan dan harapan ekstra bahwa sebagai bagian Tubuh Kristus, kita dipanggil oleh Allah yang bersahabat itu untuk menjadi pula sahabat serta ruang aman bagi sesama musafir iman. Kita pasti bisa, kita harus bisa. Karena kesalahan doktrinal tak pernah lebih merusak ketimbang ketiadaan belas kasih.
Berkaca pada inkarnasi dan karya Yesus Kristus, saya berani berharap, mungkin Allah tidak sedemikian sulit untuk disenangkan, fakta bahwa setiap orang dari keyakinan maupun dogmatika kristiani yang berbeda-beda tetap dapat mengalami kehadiran, tuntunan dan damai sejahtera Allah cukup bagi saya sebagai bukti betapa universalis-nya Allah dan betapa inklusif kerajaan-Nya. Lagipula adakah yang tak mungkin bagi Dia?
Berkah Dalem
FZ 趙健忠 💞✍🙏
#9of30 #30harimenulis
* Ketika terjadi 2 wabah dahsyat yang melanda Kekaisaran
Romawi pada tahun 165 dan 251 M, di luar Gereja, masyarakat tidak menunjukkan semangat
rela berkorban. Sepertiga penduduk Imperium Romawi tewas karena wabah tersebut,
para tabib melarikan diri ke rumah peristirahatan mereka di desa-desa, mereka
yang menunjukkan gejala penyakit tersebut diusir dengan paksa dari rumah
mereka, serta para pemimpin agama meninggalkan pelayanan mereka di rumah-rumah
ibadah.
Namun orang-orang Kristen ini mengklaim bahwa mereka
memiliki jawaban dan melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan oleh
masyarakat. Jawaban mereka meliputi pengampunan dosa melalui Kristus Yesus dan
pengharapan akan kehidupan kekal yang melampaui kematian.
Suatu pesan berharga bagi dunia yang “lumpuh”, putus asa,
dan tidak berdaya.
Mengenai tindakan, Gereja merawat mereka yang sakit dan
sekarat. Bahkan Uskup Dionisius dari Aleksandria menuliskan surat yang memuji
perilaku Gereja:
“Sebagian besar dari saudara-saudara kita telah menun-jukkan
kasih dan kesetiaan mereka tanpa batas, dengan tidak menahan-nahan dan hanya
memikirkan orang lain. Tidak peduli akan bahaya yang ada, mereka merawat
orang-orang miskin, mencukupi kebutuhan mereka dan mengarahkan mereka ke dalam
Kristus, bahkan meninggalkan hidup ini bersama dengan orang-orang yang mereka
rawat dalam kebahagiaan.”
Sejarah Gereja mencatat bahwa seiring berjalannya waktu,
kepedulian terhadap orang-orang sakit dan miskin yang dilakukan demi nama
Yesus, mengakibatkan suatu gerakan “counter culture” yang memenangkan
banyak orang kepada Sang Kristus.
Dua abad kemudian, kaisar Romawi Julian the Apostate
(332-363 M) yang ingin menyegarkan kembali agama Romawi kuno, melihat Kristenan
sebagai ancaman yang terus bertumbuh. Ia menuliskan rasa frustrasinya kepada
imam besar Romawi di Galatia:
“Ateisme (baca: Kekristenan) semakin maju melalui pelayanan
kasih kepada orang-orang asing, dan melalui kepedulian mereka memakamkan
orang-orang mati. Merupakan batu sandungan di sini bahwa tidak seorang Yahudi
pun menjadi pengemis, dan bahwa orang-orang Galilea (baca: orang-orang Kristen)
yang tak ber-tuhan itu tidak hanya memedulikan orang-orang miskin dari kalangan
mereka, tetapi juga dari kalangan kita. Sedangkan mereka yang berasal dari
kalangan kita tidak mendapat pertolongan dari kita sebagaimana mestinya.”
Hal ini melebarkan pandangan kita dari hanya sekadar liturgi
ibadah di dalam Gereja, menjadi suatu budaya liturgi sosial; suatu aksi publik
yang berpusat dan mengarah kepada Yang Ilahi. (Sumber: Reformasi Liturgi, hlm.39,
40)
** Pengangkatan (kaisar) Konstantinus merupakan titik balik bagi Kekristenan awal. Setelah kemenangannya, Konstantinus mengambil alih peran sebagai pelindung iman Kristen. Ia mendukung Gereja secara finansial, membangun sejumlah basilika , memberikan hak istimewa (misalnya, pembebasan pajak tertentu) kepada pendeta, mempromosikan orang Kristen ke jabatan tinggi, mengembalikan harta benda yang disita selama Penganiayaan Besar Diokletianus, [ 27 ] dan menganugerahkan tanah dan kekayaan lainnya kepada gereja. [ 28 ] Antara tahun 324 dan 330, Konstantinus membangun kota baru, Roma Baru , di Byzantium di Bosporos , yang kemudian diberi nama Konstantinopel untuknya. Tidak seperti Roma "lama", kota tersebut mulai menggunakan arsitektur Kristen yang terang-terangan, memiliki gereja-gereja di dalam tembok kota, dan tidak memiliki kuil-kuil dari agama lain yang sudah ada sebelumnya. [ 29 ]
Dalam melakukan hal ini, bagaimanapun, Konstantinus
mengharuskan mereka yang belum masuk Kristen untuk membayar kota baru
tersebut. [ 28 ] Para
penulis sejarah Kristen mengatakan bahwa tampaknya Constantine perlu
"mengajar rakyatnya untuk meninggalkan ritual mereka ... dan membiasakan
mereka untuk membenci kuil-kuil mereka dan gambar-gambar yang ada di
dalamnya," (sumber: Wikipedia)
Silakan klik beberapa kisah di bawah ini untuk membaca blog lengkapnya ...
Apakah iman Kristiani yang otentik itu tidak "kompromi" dengan tradisi?
Ketika keyakinan kita malah menjadi hal yang toxic bagi dunia ..
No comments:
Post a Comment