Sunday, February 16, 2025

MEMAHAMI

Semangat Belajar lewat Praktek Kerendahan Hati dan Semangat Metanoia dalam Ajaran Kristiani

 




“Belum cancer.” Demikian ujar dokter spesialis saluran cerna tempat saya berkonsultasi 2 tahun silam karena gangguan pendarahan terkait radang usus dan ambein kronis. Kata dan istilah seperti “remisi, biopsi, patologi, tumor marker” dan lainnya terkait pemeriksaan dan diagnosis saya waktu itu menjadi kata-kata yang menteror jiwa namun kian lama jadi terbiasa. Seiring perbaikan kondisi hal lain yang tak kalah disyukuri adalah kesempatan yang begitu berharga untuk merenungkan kaitan antara realita kehidupan dan panggilan untuk menjadi lebih paham dan bijaksana, suatu panggilan spiritual untuk menjaga semangat pembelajar.

Sama seperti hal-hal terkait onkologi (sel-sel, perkembangan abnormal, kanker dll) yang bisa kita pelajari secara formal maupun general karena “paksaan” keadaan ketika keluarga atau diri sendiri menghadapi gejala atau resiko terkait, maka terkait hal-hal atau bidang lainnya kita akan menemukan setidaknya dua hal:

  1. Mempelajari sesuatu secara serius itu tidak nyaman, dibutuhkan upaya ekstra untuk memahami atau mengingat hal-hal asing. Berita baiknya, sejak itu, konsep-konsep baru tersebut akan menambah dan manunggal dengan cara kita melihat dan memahami kehidupan. Kita akan menyadari “blind spot” atau “kebutaan” kita semula dalam menanggapi realita, mungkin kita akan serba salah dan malu jika mengingat bagaimana “blind spot” kita dulu mendikte respon dan ucapan kita.
  2. Kita akan menyadari kompleksitas kehidupan yang mulanya akan menambah ketidaknyamanan dan kegelisahan, namun jika kita mengijinkan proses ini berlanjut, kita akan tiba dalam sebuah kesadaran yang memampukan kita untuk hidup lebih bijaksana, sadar akan kondisi spiritual terdalam kita yakni panggilan dan tujuan kehidupan kita. Kita menjadi semakin kenal dan bergerak ke arah harmoni dengan diri sendiri maupun sesama. 

Bicara soal kebijaksanaan dan harmoni, teori Efek Dunning-Kruger mengangkat sebuah ironi, bahwa ketika kita masih rendah kompetensi akan suatu pengetahuan atau topik, kita cenderung merasa sudah paham.

Namun ketika mulai mendalami suatu ilmu, kita akan masuk pada fase kegelisahan dan putus asa, kita sadar bahwa dari kebenaran yang demikian dalam tentang suatu hal, kita seolah baru menyelesaikan halaman kulit atau pengantar dari sebuah buku mahatebal. Selanjutnya, asalkan kita tetap tekun dan tak menyerah kita akan tiba pada fase penguasaan, kompetensi dan keahlian. Di tahap ini, kita akan cenderung menahan diri dan berhati-hati dalam beropini karena kita tahu dalam kompetensi yang tinggi tersebut, hal tersebut tidaklah sederhana. Sebagian juga mungkin dikarenakan sulitnya menjelaskan kepada mereka yang masih di tahap awal efek ini. Dalam polah tingkah mereka kita berkaca melihat diri kita yang dulu naif namun banyak bicara.

Ketika sadar bahwa dalam kondisi mengarah ke perkembangan tumor yang harus dijaga ketat agar tidak mengganas, kata “remisi” adalah realita yang harus diterima karena ia tidak simpati pada kebutuhan kita akan rasa aman yang semu di balik naifnya kata “sembuh” atau “sakit”.  Meminjam ekspresi Pdt. Dr. Leo Epafras, “digantung atau diberi harapan palsu oleh mantan itu tidak enak”.

Kita bisa saja memilih kenaifan meski itu disamarkan dengan terminologi spiritual seperti berdoa, mengandalkan Tuhan dan sebagainya, tidak apa-apa, selama kita tidak menyangkali “stages of grief” kita dimana kita secara kejiwaan diperbolehkan untuk berproses, berkabung, takut, menolak, marah, dan seterusnya. Menjadi Rohani atau mempercayai Tuhan tidak mengharuskan kita mem-bypass kemanusiaan kita. Atau, mungkin kita dapat mencoba menapaki jalur yang lebih “tinggi” lagi, sulit namun baik. Kita bisa belajar menerima realita, bersyukur untuk waktu hidup dan sekadar kesehatan yang masih ada, memperbaiki diri dan menjadi pribadi yang lebih terbuka, mudah diakses dan dicintai oleh orang-orang terdekat kita. 

Belajar dan menjadi lebih paham membuka diri kita untuk disakiti, menjadi takut, kehilangan kepastian, bahkan menanggalkan konsep-konsep ilusif dalam cara kita membaca Firman Tuhan, kita diminta melucuti penafsiran-penafsiran yang kita buat terhadap ayat atau kisah tertentu yang sebenarnya lahir dari proyeksi ketakutan kita, perasaan trauma berkekurangan kita, atau kebutuhan mendalam kita akan kepastian terutama terkait hal-hal yang tidak dapat kita pastikan seperti masa depan maupun kematian.

 

“Karena itu, Saudara-saudara, oleh kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup , yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah: itulah ibadahmu yang sejati.” (Rm 12:1 – TB2)

Menarik bahwa St. Paulus dalam Roma 12:1 di atas menggunakan kata λογική σας λατρεία “logike sas latreia” (penyembahan yang logis atau dilakukan dengan akal budi yang sehat) untuk menggambarkan gagasan “a proper worship” atau penyembahan yang sejati atau pantas. Nampaknya bagi Paulus, penyembahan yang pantas diterima Allah dari kita dan penggunaan akal sehat dan kapasitas akal budi kita bukanlah hal yang sama sekali saling bertentangan. Senada, seorang sahabat mengingatkan saya, "Syarat utama berteologi cuma satu: waras." Maka betapa kontrasnya pemahaman tadi dengan sikap banyak pemuka dan jemaat hari ini yang mempertentangkan kedua hal tersebut dalam bentuk kerohanian yang menyangkali realita dan malah anti-intelektual. Bahkan saya kenal sejumlah pihak yang menggunakan ayat-ayat untuk membingkai para pembelajar sebagai orang-orang sombong yang tidak mengandalkan Allah. Ini keterlaluan.

Selanjutnya, Paulus menuliskan dalam ayat 2: “Janganlah menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan mana kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada-Nya dan sempurna.”

Tak kalah menariknya bahwa kata “pembaharuan” atau perombakan di ayat tersebut diterjemahkan dari kata Yunani ἀνακαινίσεως  “anakainiseos” yang berkaitan erat secara konsep dengan kata “metanoia” yang sering diterjemahkan sebagai “bertobat”.

Kesaksian Alkitab akan Yesus Kristus justru memberikan janji “insentif” berupa kedamaian ketika kita berani melangkah keluar dari diri sendiri untuk beriman, dan dalam hal inilah pendirian saya sejalan dengan perkataan Anselmus dari Canterbury, “Fides Cuaraens Intellectum” (karena iman maka kita mencari pengertian).

Mereka yang membaktikan hidupnya untuk terus belajar, membuka diri untuk menjadi rentan, mempertimbangkan bahwa orang lain bisa jadi ada benarnya, membuka pintu hati untuk diyakinkan dan berubah pikiran tentang sesuatu, bukankah ini semangat yang dikatakan rasul Paulus dalam Filipi 2:2b-3 TB2?

“Hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, tanpa mencari kepentingan sendiri atau pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari dirinya sendiri.”

Jika penyembahan yang berkenan pada Allah tidak bisa dipisahkan dari ekspresi akal budi untuk berpikir dan percaya secara runut tentang Allah dan karya-Nya, tidakkah tak terpisahkan pula “metanoia” atau pertobatan dari pembelajaran dan percakapan dua arah dalam kesetaraan? Tidakkah kekerasan hati dan kepala akan menghalangi kita dalam pertobatan yakni jalan memperoleh perkenanan Allah?

Maka saya percaya bahwa iman adalah sungguh-sungguh iman bukan ketika kita menentang pengetahuan, namun ketika kita belajar dan karenanya semakin paham akan realita ketidakpastian (bahkan dalam memahami narasi teks kitab suci pun), namun tetap memilih berserah kepada misteri penyelenggaraan Allah, sambil terus berjaga-jaga dan kritis dalam menjaga pintu percakapan tetap terbuka dalam menjawab segala bentuk upaya menciptakan atau memaksakan kepastian semu dengan memaipulasi Firman Allah.

Mari mengingat bahwa kita dipanggil menjadi MURID Kristus, bukan untuk memenuhi bangunan Gereja, kita diutus untuk menjadikan segala bangsa MURID-Nya, dan setahu saya murid yang baik bukan yang manggut-manggut saja namun yang banyak melontarkan pertanyaan-pertanyaan sulit yang meresahkan namun perlu dijawab.

 

Berkah Dalem - FZ 趙健忠

Amrih Mulyo Dalem Gusti – AMDG

#20f30 #30harimenulis

No comments:

Post a Comment