Mazmur 17:15 - Tetapi aku, dalam kebenaran akan kupandang wajah-Mu, dan pada waktu bangun aku akan menjadi puas dengan rupa-Mu.
Suatu kali seorang teman meminta saya merekamnya menyanyikan sebuah lagu rohani. Agak terkejut ketika ia meminta agar kalimat lirik yg berbunyi "lihat wajah-Mu" diganti. "Ngaco ini liriknya, mana bisa kita melihat wajah Allah yg Kudus? Ga ada yg sanggup, bisa mati kita," tukasnya dgn serius & percaya diri. Demikian uniknya, pengalaman tersebut masih teringat jelas sampai hari ini.
Saya paham bahwa mungkin dia memakai referensi ini:
Keluaran 33:20 (TB) Lagi firman-Nya: "Engkau tidak tahan memandang wajah-Ku, sebab tidak ada orang yang memandang Aku dapat hidup."
Atau, mungkin ini :
Wahyu 1:13-18 (TB) "Dan di tengah-tengah kaki dian itu ada seorang serupa Anak Manusia, berpakaian jubah yang panjangnya sampai di kaki, dan dadanya berlilitkan ikat pinggang dari emas.
Kepala dan rambut-Nya putih bagaikan bulu yang putih metah, dan mata-Nya bagaikan nyala api.
Dan kaki-Nya mengkilap bagaikan tembaga membara di dalam perapian; suara-Nya bagaikan desau air bah.
Dan di tangan kanan-Nya Ia memegang tujuh bintang dan dari mulut-Nya keluar sebilah pedang tajam bermata dua, dan wajah-Nya bersinar-sinar bagaikan matahari yang terik.
Ketika aku melihat Dia, tersungkurlah aku di depan kaki-Nya sama seperti orang yang mati; tetapi Ia meletakkan tangan kanan-Nya di atasku, lalu berkata: "Jangan takut! Aku adalah Yang Awal dan Yang Akhir, dan Yang Hidup. Aku telah mati, namun lihatlah, Aku hidup, sampai selama-lamanya dan Aku memegang segala kunci maut dan kerajaan maut."
Namun bagaimana dengan Mazmur 17:15 tadi, dimana pemazmur berhasrat memandang wajah Allah yang sama yang menjumpai Musa dalam Keluaran 33:20 di gunung Sinai? Perlu dicatat bahwa Kel 33:11a menyatakan, "Dan TUHAN berbicara kepada Musa dengan berhadapan muka seperti seorang berbicara kepada temannya;". Dan ya, baik ayat 11 maupun 21 dalam Keluaran 33 menggunakan kata יַהוְה YHWH (tetragrammaton, "Adonai") untuk "TUHAN" dan פַּנִים "panim" untuk "wajah".
Don't get me wrong. Saya tidak menyiratkan bahwa sikap tak hormat kepada Allah adalah tindakan yang dapat diterima. Hanya saja, kontradiksi mengenai konsekuensi memandang "wajah" Allah dalam teks-teks tersebut (jika dimaknai literal) jelas ada. Belum lagi polemik apakah Allah memiliki fisiologi manusia, lantas apa makna "gambar & rupa" dalam kitab Kejadian dan apa maknanya kita serupa dengan Allah.
Lantas bagaimana memaknai Alkitab sebagai Firman Allah? Kapan kita membaca secara teks secara literal apa adanya, kapan secara alegorikal (perumpamaan)? Kapan ia bicara tentang realitas fisik, dan di mana ia bicara perkara rohani? Apa makna yang lebih dalam saat Allah digambarkan secara "antropomorfik" (dianalogikan dengan fitur-fitur fisik atau intelektual khas manusia)? Makin seru bukan?
Dari contoh ini kita dpt berefleksi bhw:
1. Suka tidak suka, sadar maupun tidak, kita tidak mungkin lepas dari yang namanya berteologi (teos = Tuhan, logia = ilmu, pemikiran), menyangkali teologi sama dengan merendahkan karunia intelegensia yang Allah berikan pada setiap kita (bdk. Ul 6:5; Mat 22:37).
2. Teologi yang sehat tidak dapat dibangun secara "sporadis" berdasarkan ayat atau narasi tertentu saja. Memang kita tak dapat menghindari proteksi mental kita terhadap cara kita menafsirkan apa kata Alkitab, namun metodologi yang akuntabel tak dapat pula dikorbankan atas nama "kesan dan ilham" dari Roh Kudus (bdk. 2Tim1:7).
3. Alkitab tidak ditulis sebagai buku bertuah yg tabu didiskusikan, karena ia pun merupakan koleksi polemik tentang Allah.
4. Allah menyingkapkan diri namun Ia pun suatu misteri. Bertumbuh dalam keduanya adalah baik ketimbang kepastian semu dengan bias dan blindspot yang tidak kita sadari.
Sebagaimana Metropolitan Kallistos Ware menguraikan dengan indah dalam bukunya "The Orthodox Way" (pg. 37, "God as a Mystery"):
"Kegelapan pekat yang ke dalamnya kita masuk bersama-sama Musa, ternyata menjadi suatu kegelapan yang menyilaukan. Secara apofatik* 'tidak mengetahui' (unknowing) tidak berakhir pada kehampaan, namun kepenuhan. Negasi menjadi super-afirmasi, melampaui ekspresi bahasa manapun, langsung kepada pengalaman Allah sendiri ...
... sebagaimana kata misteri yang berasal dari mysterion, menunjuk kepada praktek agama pagan dimana seseorang ditutup matanya melewati suatu prosesi dan kemudian saat penutup di buka, ia dapat menyaksikan lambang-lambang atau emblem rahasia agama tersebut. Pemaknaannya bagi Kekristenan adalah bahwa misteri bukanlah suatu teka-teki membingungkan atau masalah tak terpecahkan, sebaliknya, misteri adalah penyingkapan namun yang tak dapat dipahami sepenuhnya karena ia menyasar langsung ke dalam misteri Allah. Dalam hal inilah mata kita tertutup sekaligus terbuka."
Maka menjadi suatu paradoks yang indah bagi saya ketika Allah yang adalah Misteri Agung itu justru menampakkan dirinya kepada kita melalui imaji dan persona yang kemungkinan besar justru akan ditolak oleh mereka yang meyakini bahwa kebenaran Firman "yang terang" atau "pasti" itu berlaku "mahakuasa" dalam artian opresif dan kolonialis-supremasif** terhadap yang liyan, asing atau misterius, atau meyakini Allah yang "mahakasih" namun bersikeras bahwa dalam lingkup pagar kelompok dan keyakinannya sajalah Allah dapat mengasihi dan menyelamatkan dengan sempurna.
1 Raja-raja 8:12 (TB) Pada waktu itu berkatalah Salomo: "TUHAN telah menetapkan matahari di langit, tetapi Ia memutuskan untuk diam dalam kekelaman.
1 Timotius 6:16 (TB) Dialah satu-satunya yang tidak takluk kepada maut, bersemayam dalam terang yang tak terhampiri. Seorang pun tak pernah melihat Dia dan memang manusia tidak dapat melihat Dia. Bagi-Nyalah hormat dan kuasa yang kekal! Amin.
Berkah Dalem
FZ 赵健忠 🌿☦️🙏✍️
#13of30 #30harimenulis
Keterangan Tambahan
* Apofatik : pengenalan akan Allah yang diperoleh dengan jalan menegasi atau via negativa (mengatakan apa yg "Allah bukan" atau what God is NOT), lawan dari apofatik adalah Katafatik pengenalan akan Allah dengan mendefinisikan apa itu Allah (what God IS) yang lebih berkembang dalam Kekristenan Barat.
** Menjadi kecenderungan hermenetika yang diwariskan khususnya oleh para misionaris Barat bahwa selain memberitakan keselamatan dalam Yesus Kristus, proses "konversi" maupun "penginjilan" seringkali membawa muatan anti budaya lokal atau membingkai kearifan lokal dengan segala corak dan simbolnya sebagai bentuk dosa atau suatu praktek "demonik" atau "satanik", tanpa melakukan dialog dan refleksi yang memadai dengan komunitas dan sistem keyakinan yang dijumpainya.
Silakan klik beberapa kisah di bawah ini untuk membaca blog lengkapnya ...
Ketika yang hendak belajar merasa lebih paham dari pengajarnya, siapakah yang rugi?
Bagaimana menghadapi kecenderungan manipulatif dan kemunafikan dalam lingakaran terdekat?
Mengapa bentuk kesalehan atau keyakinan menjadi munafik ketika ia menolak inkarnasi Kristus sebagai solidaritas dan kehadiran Allah ditengah penderitaan dan kerapuhan?
Bagaimana Ekaristi/Perjamuan Kudus menginspirasi kita tentang karakter Allah yang penuh keramahan dan memanggil kita untuk menampilkan hal serupa.
Apakah menjadi "rata-rata" dalam memahami kitab suci itu tidak masalah (dalam tradisi yang menganggapnya sebagai otoritas iman yang tertinggi setelah Allah).
Apakah iman Kristiani yang otentik itu tidak "kompromi" dengan tradisi?
Ketika keyakinan kita malah menjadi hal yang toxic bagi dunia ..
Ketika dua orang buta disembukan oleh Yesus, kita diingatkan bahwa berbicara tentang dan kepada Sang Kristus adalah hak dan kehormatan setiap orang.
Mengapa obsesi "kebenaran absolut", membuktikan atau membela Alkitab malah menyebabkan kita kesulitan membacanya?
Jangan lekas tersulut dengan kritik soal menafsirkan Alkitab "semaunya", kita dan bahkan sang penuduh juga melakukannya koq 🤭🤭
Kenyataan diagnosa penyakit membawa saya merenungkan tentang kedewasaan dalam memahami iman yang melibatkan penerimaan akan realitas.
Dari Motto René Descartes, "Cogito Ergo Sum", mari menelusuri kontroversi dan polemik kekristenan konservatif versus progresif. Apakah pemikiran liberal adalah suatu kesesatan baru?
Apa hubungan perkembangan kosmologi dan fisika kuantum dalam menemukan kembali inklusivitas dalam dialog iman?
Segurat protes terhadap "tradisi" manipulasi narasi "alkitabiah" tentang kepatuhan dan pahala dalam relasi komunal termasuk bergereja.
Membingkai dosa dalam lensa keselamatan postmortem imajinatif personal (baca: "egoistik") terkadang membuat kita lupa bahwa dosa juga adalah sistem perusakan jalinan dunianya Allah, fisik & komunal.