Sadarkah Anda bahwa argumen di bawah ini bukanlah sepenuhnya berasal dari tradisi iman Gereja mula-mula, namun buah dari pemikiran modern, bahkan dalam ekspresi tertuanya baru mendominasi sejak pasca reformasi di abad XVI? (Penjelasan di bawah dan seterusnya) :
"Jangan gunakan pemikiran sendiri*, taatlah pada apa kata Alkitab karena itu menandakan Iman kepada Tuhan, Alkitab tidak mungkin salah dan pesan dalam Alkitab akan selalu objektif dan netral karena berasal dari Allah, disampaikan langsung pada kita."
Cogito Ergo Sum (Saya Berpikir Maka Saya Ada; Berpikir memberikan makna terhadap eksistensi manusia)
Mengapa memahami motto Descartes ini penting dalam menyikapi isu dan kontroversi "progresivitas" maupun "dekonstruksi" spiritual?
Banyak orang akan menduga bahwa Saya mengangkat motto ini sebagai contoh pemikiran modern "duniawi" yang mencoba menggantikan standar kebenaran sebagaimana yang dapat ditemukan orang percaya dalam Alkitab.
Well, meski itu tidak salah (sepenuhnya), namun yang hendak ditekankan di sini adalah bahwa narasi konservatisme Kristiani tertentu yang menyatakan bahwa Alkitab mampu memberikan perspektif kebenaran filosofis yang objektif dan non-bias, pemikiran demikian ternyata juga bertumpu pada gagasan modernisme yang sama. Mengapa demikian?
Polemik "Kekristenan Progresif"
Akhir-akhir ini khususnya di dunia maya, istilah "kristen progresif" banyak disalahartikan baik oleh mereka yang mendukung maupun menentangnya. Banyak orang, awam maupun rohaniwan berapologet (berusaha membela keyakinan doktrinal) bahwa "dekonstruksi" rohani merupakan "buah" pemikiran progresif pasca modernisme (postmo) yang "menyerang kebenaran alkitabiah", namun benarkah demikian?
Sejatinya, "progresif" atau progresivitas berpusat pada upaya aktualisasikan suatu pola pikir agar dapat bermakna dan menjadi jawaban dalam situasi dunia hari ini dalam setting lokasi atau budaya tertentu. Dan "dekonstruksi" (yang sering disalahpahami sebagai upaya sengaja untuk menyesatkan diri atau orang lain terkait nilai moral/spiritual kristiani), sejatinya adalah sesederhana respon istri saya seusai saya menjelaskannya, "Oo.. maksud nya penafsiran?". 🤭👍
Hubungan Dekonstruksi dengan Pemikiran Progresif
Menurut Jaques Derrida, bapak dekonstruksi modern, dekonstruksi menyerupai proses membongkar sesuatu untuk kemudian merakit kembali menjadi suatu yang baru. Proses ini terjadi secara spontan (tidak disengaja dan tak terelakkan niscaya terjadi) saat kita memaknai suatu teks atau hal non-tekstual yang dapat dinarasikan, misalnya pengalaman hidup. Dekonstruksi spiritual spontan terjadi ketika kita membaca isi Alkitab (karena kita pasti menafsirkan maknanya sesuai pemahaman kita atau agar teks yang sangat lampau tersebut "berbicara" pada kita di saat ini).
Maka dalam hal ini mereka yang mengaku "konservatif" sekalipun dalam tahap tertentu mau tidak mau akan mengalami dekonstruksi dan progresivitas. Ironisnya banyak pihak yang tergesa-gesa menghakimi pemikiran progresif maupun dekonstruksi dalam kekristenan belum pernah mendengar tentang Derrida, sang pencetus konsep ini, apalagi membaca atau mencoba memahami apa yang dimaksudkannya.
Progresivitas dan Dekonstruksi dalam Alkitab dan Sejarah Gereja
Dalam diskursus/wacana akademik biblika, sejarah iman yang didokumentasikan dalam Alkitab, maupun sejarah perkembangan Gereja diwarnai kisah-kisah yang menggambarkan bahwa dekonstruksi dan progresivitas telah berlangsung lebih banyak, integral dan esensial dari yang kita sadari maupun akui.
Ketika dinamika sosial terjadi pasca eksodus orang-orang Yahudi menuju Kanaan, mereka berprogres sehingga narasi mengenai cara memperlakukan budak mengalami pergeseran dalam hak maupun kesetaraan gender (Bdk. Kel 21 dengan Ul 15).
Ketika umat Israel mengenal orang-orang di pengasingan Babilonia dan mulai melihat mereka sebagai manusia, ketimbang para iblis penjajah, progresi dalam soteriologi (konsep keselamatan dan rahmat Allah) mereka melahirkan kitab Yunus yang menarasikan pengampunan Allah kepada kota Niniwe, ini berbeda dengan narasi kitab Nahum dimana Niniwe dihukum dan dimusnahkan.
Di masa pasca pembuangan ke Babilonia maupun pasca penghancuran Bait Suci Kedua tahun 72 Masehi, komunitas religius Yahudi "dipaksa" untuk mendekonstruksi ibadah wajib berupa pengorbanan hewan yang tidak dapat lagi mereka lakukan karena ketiadaan Bait Suci. Dari progresifitas inilah lahir Judaisme Rabinik seperti yang kita kenal hari ini.
Progresivitas yang sama juga terjadi sedemikian rupa sehingga dalam rangka menguatkan konsep trinitas, gereja Katolik Roma mengubah narasi bahwa "Roh Kudus keluar/diutus Bapa, sama seperti Putera" yang telah disepakati dalam konsili Nicea, menjadi "Roh Kudus diutus dari Bapa dan Putera". Hal ini menyebakan apa yang dikenal sebagai kontroversi "filioque" (diutus atau keluar dari siapa) yang menyulut perpecahan awal antara gereja Roma dengan kekristenan Timur pra reformasi Protestan.
Progresivitas terjadi pula dalam gerakan evangelikalisme di Amerika Serikat, hari ini Anda takkan mendengar lagi ajaran Gereja-gereja ini mengenai segregasi atau pemisahan antara ras kulit putih dan ras lainnya dalam aktivitas publik, atau dukungan atas perbudakan. Ya, mereka mendukung hal-hal tersebut di masa lalu, dengan mengutip ayat-ayat Alkitab dan mengklaim bahwa pendirian mereka "alkitabiah" adanya.
Hal yang sama secara spesifik terjadi dalam kontroversi kebijakan Bob Jones University, South Carolina, Amerika Serikat, yang sejak tahun 1983 hingga 2000 melarang perkencanan antar-ras di lingkungan kampus, lagi-lagi berdasarkan tafsiran akan Alkitab.
Bagaimana pula mengenai posisi gereja mengenai kontrasepsi dan reproduksi? Tidaklah sulit untuk menemukan dokumentasi bahwa hingga sekitar 100 tahun silam banyak gereja yang menganggap kontrasepsi selain dari pada sistem kalender sebagai Hal yang menyalahi ajaran Alkitab. Beberapa denominasi bahkan Masih mempertahankan pendirian tersebut hingga saat artikel ini ditulis.
Maka, apa yang berubah? Mungkinkah perubahan akan penafsiran tekstual tertentu akan Alkitab menjadi suatu keniscayaan bagi mereka yang sungguh-sungguh mempelajari teks suci tersebut?
Sekali Lagi tentang Postmodernisme versus Modernisme
Pada kenyataannya, postmodernisme yang melahirkan pemikiran progresif dan dekonstruktif adalah kritik akan cara berpikir modernis. Dan melanjutkan silogisme tersebut, dekonstruksi merupakan kritik postmedernisme terhadap klaim modernisme akan Alkitab.
Postmodernisme secara progresif menantang klaim bahwa "cogito ergo sum" termasuk terhadap Alkitab dapat dilakukan. Bahwa kalau pun kebenaran dalam diri Allah itu objektif, dapatkah manusia yang sejatinya subjektif ini mengartikulasikannya dengan sempurna?
Dan meminjam konsep spontanitas dekontruksi Jaques Derrida, apakah mungkin (dengan pemahaman kita masa kini akan proses pembentukan gagasan melalui ekspresi bahasa), bahwa gagasan sempurna Allah dapat terinternalisasi dalam diri pembaca Alkitab dengan mem-bypass konteks hidup, proses berpikir dan interpretasi?
Implikasi Eklesiologis dan Teologi Publik
Implikasinya, pembiaran terhadap narasi yang agresif-konfrontatif terhadap dekonstruksi teologis beresiko menghasilkan polarisasi yang kontra-produktif dan dinamika politik yang tidak sehat dalam kehidupan bergereja. Mereka yang memunculkan pertanyaan-pertanyaan jujur yang terlahir dari tragedi kehidupan, pengalaman traumatis terkait pelanggaran etika dalam pelayanan dan penggembalaan dapat serta merta diredam dan dimarginalisasi demi konservasi kenyamanan dan kekuasaan sebagian pihak dalam komunitas iman dengan mengatasnamakan "otoritas Alkitab".
Maka menyikapi arus pemikiran postmodernisme secara terburu-buru, apriori dan bermusuhan adalah sikap yang berbahaya. Sebaliknya, adalah bijaksana untuk memandang pergerakan postmodernisme dalam spiritualitas Kristiani secara dialogis sebagai dinamika ecclesia semper reformanda (Gereja yang senantiasa diperbaharui/bereformasi) demi mengangkat kembali pembacaan yang mempertimbangkan banyak faktor seperti sains, perkembangan peradaban, dan terlebih utama, konteks kehidupan manusia dan permasalahan dunia yang senantiasa menjadi "moving target" dari iman kita akan Kabar Baik Kristus.
Amrih Mulyo Dalem Gusti
FZ
Catatan:
* Ekspresi ini seringkali didasarkan pada kutipan dari Amsal 3:5 berikut
"Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri."
Masalahnya, ketika kita mempertimbangkan konteks lokal perikopnya saja, kita akan menemukan dalam ayat 6 dan 7 bahwa ekspresi ini berbicara tentang kecenderungan pemikiran manusia yang melakukan kejahatan, maka bersandar kepada Allah tidak hanya bermakna "meyakini hal-hal yang benar", namun juga menjauhi tindakan yang merugikan sesama. Konteks Amsal 3:5-7 mendorong kita tidak berhenti hanya pada meyakini "doktrin yang benar", namun mencapai keutuhannya dalam tindakan solidaritas Kristiani sebagaimana tercermin dalam "Sabda Bahagia" (bdk. Mat 5:1-12)
Amsal 3:6-7 (TB)
"Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu.
Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan TUHAN dan jauhilah kejahatan;"
* Silakan memberikan komentar dan sharing pengalaman Anda di bagian komentar dan membagikan tulisan ini kepada siapa saja yang mungkin tertarik atau membutuhkan. Terima kasih.
Refleksi lainnya :
- Paskah dari Ujung Bimasakti (versi video nya di sini)
- Behave! -- Kritik terhadap Manipulasi Narasi Penundukkan Diri
- Is It Late for Christmas?
- Mencintai (Seperti Kristus) Hingga Terluka
- Sungguh Perlulah Dosa Adam
- Menjawab Konsep "Pemberesan" dan Mewaspadai Injil "Kemakmuran"
- Friends Don't Lie (video) - Ketika "Iman" Berhadapan dengan Relasi - Mengupas Teologi dan Ajaran "Problematik"
- Yunus (video) - Kisah Monster Laut yang Mengajarkan Kasih, Iman dan Pertobatan
- Living Abnormally (Video) - When Ideal & Pretty are too Far Fetched