Matius 22:39b (TB)
"Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri."
Beberapa tahun silam sering muncul narasi dari mimbar Gereja kurang lebih demikian, "Tahu tidak kenapa sekarang Kekristenan di Korea (Selatan) lesu? Karena orang-orang mudanya lebih memilih jadi artis ketimbang melayani Tuhan." Terlepas dari apakah pernyataan tersebut didukung data statistik ataukah sekadar christian clickbait, entah mengapa tagline tersebut kembali terngiang di benak saya namun dengan "menyeret" pula memori akan serial K-Drama yg pertama kali saya tonton.
Serial TV 괜찮아, 사랑이야 "Gwaenchanha Sharangiya" (It's OK, That's Love) ternyata berhasil memenangkan banyak penghargaan baik sinema maupun musikal sekitar periode 2014 sampai 2016. Tak heran sejak itu, saya amat pilih-pilih dalam menyaksikan serial serupa karena baik dari aspek akting maupun script & plot-nya menurut saya serial ini telah menetapkan standar yang di atas rata-rata dalam pemahaman saya tentang sebuah K-Drama yang layak menyita waktu dan perhatian. (Spoiler warning - Mature content) ⚠
Berkisah tentang novelis sukses yang berpapasan kisah dengan seorang dokter spesialis kejiwaan yang berlanjut dengan permusuhan namun perlahan menjadi romansa, amat basic kedengarannya. Kisah lantas bergulir, nampak bahwa tiap karakter (bahkan karakter pendukung) mengalami kondisi kejiwaan bervariasi terkait masa lalu mereka. Tourette Syndrome, OCD hingga schizophrenia, kasus-kasus digambarkan dengan dramatis, manusiawi, immersive dan intim. Kisah diakhiri dengan bagaimana cinta kasih yang memberi ruang serta kepercayaan memungkinkan kesembuhan dan hidup yang lebih baik.
Pasca serangkaian peristiwa traumatis dalam dekade tersebut, serial ini nampak memberi ruang regulasi dan recovery lebih luas bagi saya secara pribadi. Sayangnya saya tidak dapat mengatakan hal serupa terkait oknum dan/atau komunitas spiritual yang pernah seperjalanan yang kemungkinan besar ada pada posisi mengkritik pop culture dengan prasangka dan secara tidak berimbang.
Terinspirasi pengalaman di atas, saya mencoba menggarisbawahi realita kontradiksi teks kitab suci, narasi anti-empati dalam lingkaran religi fundamentalis hari-hari ini dan membandingkannya dengan posisi Kristus. Apakah kasih itu pada hakekatnya tanpa batas, tanpa aturan dan tanpa konsekuensi?
Yesus yang menggenapi Taurat (Mat 5:17-18), namun juga memberi "Perintah Baru" (Yoh 13:34). Yesus yang mencegah hukuman mati (Yoh 8:7) juga adalah Pribadi yang keras terhadap dusta, apalagi ketika dusta, kemunafikan dan korupsi itu menyakiti harkat hidup mereka yang rentan dan tak mampu bersuara (Luk 17:2). Sambil sama-sama berdebat dengan para pemuka agama dan menyinggung Taurat yang sama dan Nabi Musa yang sama, Dia melonggarkan aturan Sabat (Mrk 2:23-27) namun sekaligus keras melarang perceraian (Mrk 10), yang mana ketika kita kritisi secara mendalam, larangan itu Ia utarakan semata mengingat wanita kala itu rentan terhadap kemiskinan jika bercerai dan dengan memanfaatkan "celah" Taurat, seorang pria dapat menceraikan istrinya dengan alasan paling konyol sekalipun.*
Hari ini, ketika korupsi dan penindasan dibiarkan atau dibela dengan alasan yang tak kalah konyolnya, sementara kemurahan yang tak seberapa namun dapat mengubah atau bahkan mempertahankan hidup malah dicemooh, Yesus tidak berpihak pada dikotomi yang kaku dan naif antara legalisme, liberalisme atau anarkisme, Yesus berfokus dan lebih tertarik membela yg lemah dan rentan, bagaimanapun pendekatannya. Bagi-Nya, it's OK, that's love.
Berkah Dalem
FZ 趙健忠 🌺🌈💕☦✍🙏
#15of30 #30harimenulis
Catatan tambahan :
Terkait ketidakadilan dalam hukum perceraian Yudaisme kuno
Dalam periode "Bait Suci Kedua", hukum agama Yahudi (sebagaimana ditafsirkan oleh golongan Farisi) mengijinkan para pria untuk menceraikan istri mereka berdasarkan kitab Ulangan 24:1 yang berbunyi:
”Apabila seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumahnya"
Golongan (pengikut rabi) Shammai memiliki pandangan yang lebih ketat sehingga perceraian hanya diperbolehkan dalam kasus pelanggaran yang serius, sementara kelompok rabi Hillel mengijinkan perceraian bahkan untuk alasan remeh seperti masakan yang tidak enak. Perdebatan ini dibukukan dalam literatur rabinik seperti Mishna dan Talmud.
Silakan klik beberapa kisah di bawah ini untuk membaca blog lengkapnya ...
Ternyata #kaburajadulu juga relevan dengan kisah sejarah iman.
Ketika yang hendak belajar merasa lebih paham dari pengajarnya, siapakah yang rugi?
Bagaimana menghadapi kecenderungan manipulatif dan kemunafikan dalam lingakaran terdekat?
Apakah iman Kristiani yang otentik itu tidak "kompromi" dengan tradisi?
Ketika keyakinan kita malah menjadi hal yang toxic bagi dunia ..
Mengapa hanya suami yg boleh menceraikan istri? Sementara sebaliknya ga boleh? Tapi zaman sekarang c dua-duanya jg sudah bisa menceraikan yah .. zaman dulu masih patriakist bgt ya..
ReplyDelete