Thursday, February 20, 2025

Contoh-contoh Kontradiksi dan Polemik dalam Teks Alkitab yang Memerlukan Pendekatan Kritik Tekstual

 

Apa sih contoh hal-hal yang menuntut pemikiran kritis kita tentang Alkitab? (karena beriman secara naif dan irasional itu berbahaya)

 

1.     Kontradiksi & mutli-vokalitas

 

1.1.          Contoh 1: Perbedaan urutan penciptaan. Manusia diciptakan dalam urutan terakhir (Kej 1:26), sedangkan dalam Kej 2:9,19, manusia diciptakan sebelum tumbuhan dan hewan-hewan.

 

1.2.          Contoh 2: Perbedaan jenis binatang yang diperintahkan Allah untuk dikumpulkan oleh Nuh ke dalam bahtera sebelum air bah.

1.2.1.     Kejadian 6:19-20 menjelaskan bahwa semua hewan dibawa masing-masing SATU pasang, jantan dan betina,

1.2.2.     sedangkan dalam Kejadian 7:2-3 dikatakan bahwa dari hewan yang “haram” harus diambil TUJUH pasang dan hewan haram SATU pasang saja.

Dan lagi, Hukum tentang haram versus tahir baru ada jauh kemudian setelah Israel keluar dari Mesir. Ataukah kisah ini disusun pasca eksodus dari Mesir?

 

1.3.          Contoh 3: Kontradiksi perintah dalam memperlakukan budak.

1.3.1.     Keluaran 21: bangsa Israel boleh memperbudak sesamanya, istri dan anak yang kemudian lahir setelah perbudakan tidak dapat dibebaskan.

1.3.2.     Namun, Ulangan 15:12-18 mengatakan: budak laki-laki MAUPUN perempuan Ibrani dapat dibebaskan setelah mengabdi selama 6 tahun.

1.3.3.     Dalam Imamat 25:39-43, bangsa Israel DILARANG memperbudak sesamanya, melainkan harus mengupah lantas dibebaskan pada tahun “Yobel”.

 

1.4.          Contoh 4: Buah dari kesalehan tidaklah selalu berkah dan mereka yang jahat tidak selalu terjerat hukum.

1.4.1.     Ketika Allah menjanjikan berkat bagi yang saleh (Ul 28:1-2), Ayub malah mengalami tragedi besar (Ayub 1:1-22).

1.4.2.     Ketika Amsal 10:3 menjanjikan orang benar akan dipuaskan, Pengkhotbah 7:15 menggambarkan orang fasik yang mendapatkan apa yang mereka inginkan, begitu pula lewat keluhan Ahur bin Yake (Amsal 30).

 

1.5.          Dan nampaknya Alkitab tidak selalu sepakat mengenai siapakah yang Allah kutuk atau berkati dan ampuni. Contoh ..

1.5.1.     Kota Niniwe diampuni Allah menurut kitab Yunus namun dihukum dalam kitab Nahun dan Zefanya.

1.5.2.     Yehu, raja Israel, menumpas Izebel dan keluarga raja Ahab atas perintah Allah (2Raj 9 & 10), namun dikecam dalam Hosea 1:4 sebagai “hutang darah”, apakah framing ini dilakukan oleh pihak dengan dua agenda berbeda?

 

1.6.          Kronologi yang berbeda terkait kelahiran, silsilah dan lama pelayanan Yesus Kristus. Mat 1:6-7 menyebutkan garis keturunan Yusuf dari Salomo, sedangkan Luk 3:31 menarik garis silsilah dari Natan. Injil-injil Sinoptik (Matius, Markus dan Lukas) menuturkan bahwa Yesus hanya melayani selama sekitar setahun, sedangakan Injil Yohanes menggambarkan dari jumlah perayaan Paskah bahwa Yesus melayani selama sekitar 3 tahun.

 

1.7.          Dalam Injil-injil Sinoptik (Matius, Markus, Lukas), “pengudusan” Bait Allah dimana Yesus mengusir para pedagang dan penukar uang dilakukan menjelang akhir pelayanan-Nya (menjelang penyaliban), namun dalam Injil Yohanes hal itu dilakukan di awal pelayanan-Nya.

 

1.8.          KESELAMATAN.. it’s not that simple. Rasul Paulus menekankan pentingnya iman dibandingkan perbuatan sebagai gambaran keselamatan dalam Kristus (Roma 3:28) sedangkan Surat Yakobus (Yakobus 2:24) menekankan bahwa iman perlu dibuktikan melalui perbuatan baik terhadap sesama. Apakah ini kontradiksi atau saling melengkapi? Apapun jawabnya, kedua narasi menjadi paradoks yang mau tak mau direkonsiliasi atau direnegosiasi dalam suatu ketegangan tertentu yang kita hidupi sehari-hari.

 

2.     Motif Penulisan & Propaganda; yang menjadi tantangan bagaimana menghayati iman Kristiani lewat warisan teks suci yang dipenuhi motif propaganda dan justifikasi pendudukan lahan Kanaan oleh suku bangsa Ibrani, motiv narasi legitimasi monarki Daud, dll. Hal-hal ini akan saya elaborasi di tulisan mendatang.

 

3.     Isu Moral dan Hak Asasi Manusia

Alkitab secara teks tidak luput dari polemik dan kritik etika moral, sebagai contoh  adalah poin 1.3. tadi dimana Perjanjian Lama (dan Perjanjian Baru pula) ditulis dalam peradaban yang menormalisasi dan tidak masalah dengan adanya perbudakan, tentu ini bermasalah ketika kita atau kalangan Kristen tertentu mengklaim bahwa menurut teks, Allah berpendapat bahwa memperbudak atau mengeksploitasi kelompok masyarakat tertentu atau mendirikan sebuah negara “Kristen” dimana satu versi tafsir diskriminatif tertentu dinobatkan sebagai “kebenaran” Alkitabiah, semua itu menjadi tidak hanya diperbolehkan namun adalah juga “mandat Ilahi”. Anda mungkin berpikir bahwa saya bercanda. Namun inilah narasi yang digunakan di masa lalu untuk menjustifikasi dan membela penjajahan kolonial, perbudakan, berbagai Gerakan fasisme, persekusi kelompok religious minoritas, genosida dan penindasan lainnya berdasarkan diskriminasi dan kecurigaan rasial atau strata social, dan apakah yang dimanfaatkan dan disalahgunakan dalam semua ini? Ya, Alkitab.

 

4.     Evolusi keyakinan Eskatologis (terkait alam baka, penghakiman setelah kematian, hari akhir / akhir zaman, dll)

Mengamati pergerakan penyusunan kitab-kitab dan peristiwa yang terjadi di seputarnya (penghancuran & pembuangan Israel ke Babilonia +/- thn 597 SM, penjajahan berulang di wilayah Palestina kuno oleh Persia, Yunani kemudia Romawi, penganiayaan gereja perdana dan pengusiran mereka dari Sinagoge lewat dekrit Jamnia/Yavne thn 90 Masehi, dll), kita dapat memahami bagaimana pergumulan “theodicy” atau upaya memahami keadilan dan kasih Allah di tengah ketidakpastian dan tragedi dunia (lih. 1.4. dan 1.5.) membawa pesan-pesan dalam kitab-kitab apokrifa (deuterokanonika, utamanya 1 & 2 Makabe) berevolusi penjadi keyakinan akan ganjaran di kehidupan selanjutnya (akhirat) dalam Judaisme (yang diteruskan ke dalam Kekristenan).

Lagi-lagi iman yang terbentuk karena kontradiksi baik dalam teks maupun antara iman dan kenyataan hidup, dan mungkin mengejutkan bagi sebagian kita, penghayatan ini adalah hasil renegosiasi teologis dalam memaknai Allah alih-alih asumsi bahwa semua sudah demikian sejak dulu (misal, di era monarki Daud dan setelahnya).

Bagi Anda yang menjelajah perihal penggunaan kata γέεννα “Gehenna” yang kemudian diterjemahkan sebagai “neraka” dalam banyak kutipan Injil, akan nampak jelas pula bagaimana imajinasi surga maupun neraka pasca kematian yang kita miliki hari ini banyak dipengaruhi oleh budaya popular terkemudian dan tentunya tidak ada dalam alam pemikiran masyarakat Yahudi di abad pertama masehi. Sebagai konsekuensi, kita perlu mempertimbangkan bahwa sementara kita mengimani ganjaran akhirat bagi kebaikan dan kejahatan dalam bentuknya yang terselubung bahasa kiasan dan mitologi, ajaran Kristus yang menyertai penggunaan kata “Gehenna” –  yang nyaris selalu mengecam keserakahan dan kekejaman manusia –   adalah prioritas dan instruksi yang lebih jelas dan karenanya tidak bisa diabaikan atau dinomorduakan.

No comments:

Post a Comment