Thursday, February 20, 2025

KETIKA TIDAK MENGAPA UNTUK TIDAK “OBJEKTIF”

 

Dari Ilusi Kebenaran “Absolut” kepada Sadar Berteologi dan Mendialogkan Dogmatika sebagai Sesama Peziarah Iman


 

Pagi ini di Saya menemukan konten berikut dari Peter Enns, kontributor SBL (Society ofBiblical Literature) yang beranjak lansia namun masih asyik, casual dan santun dalam mengkomunikasikan perspektif akademik kepada masyarakat awam. (link video dapat dibuka di bawah ini untuk memperjelas konteks)

https://bit.ly/4k4ptpe atau https://bit.ly/3X7IVrv


Video diawali ketika seorang pembicara dengan yakin dan mantap menyampaikan bahwa :

  •        Kita tidak bisa pilih-pilih dalam meyakini hal-hal dalam Kitab Suci.
  •        Mereka yang melakukan penafsiran secara demikian bukanlah seorang Kristiani.

Yang kemudian dilanjutkan dengan opini dan argumen Dr. Enns bahwa pendekatan sang pembicara yang diistilahkan sebagai Taking The Bible at Face Value (menerima isi Alkitab secara literal “apa adanya”) justru menjadi hal yang membawanya ke dalam dunia telaah Alkitab secara akademik.

Lho, koq begitu?

Karena dari membaca Kitab Suci secara apa adanyalah kita menemukan banyak hal yang memerlukan pemikiran kritis untuk memungkinkan ia menjadi suatu “sistematika hikmat” guna mengarahkan penghayatan iman kita kepada keselamatan dalam Yesus Kristus (termasuk bagaimana mendefinisikan “keselamatan” itu secara bertanggung jawab) jika kita membaca Alkitab dalam lensa Kristiani.

Sebelum melanjutkan, saya rasa adalah waktu yang tepat pula untuk merespon banyak pernyataan yang saya terima selama ini yang kira-kira berbunyi, “Membahas iman dan Alkitab secara rumit bukanlah untuk saya atau kebanyakan orang. Tidak semua orang (Kristen) tertarik mendalami teologi, mereka lebih butuh pendalaman Alkitab yang mudah di cerna dan ‘berguna’ atau aplikatif, bukan teori di awang-awang.”

To be fair, saya pikir perlu dipahami disini bahwa teologi (“theos” = Tuhan; keilahian; “logia” = ilmu, pemahaman) bukanlah suatu pilihan dalam eksistensi kita yang terikat mutlak dengan proses menalar dan memahami, sama seperti kita tidak dapat menyangkali adanya udara dan bahwa suka tak suka setiap saat kita menghirup udara. Hanya dengan mendengar bagaimana Anda berdoa, memilih lagu Rohani kesukaan, “bersaksi” dan mengkorelasikan pengalaman Anda dengan keberadaan atau karya Allah, saya dapat menentukan posisi dan konstruksi teologis Anda. Kita semua memilikinya. Kita semua berteologi. Selama kita mengklaim diri sebagai umat yang berdoa dan membaktikan diri kepada Allah atau ingin mengenal Dia, ingin memahami dan menjelaskan bagaimana Ia hadir dalam ketidakpastian dunia, kita tidak dapat tidak berteologi! Bahkan seorang agnostik atau ateis pun berteologi melalui keraguan atau ketidakyakinannya akan Allah.

Memulai dengan kesadaran tadi adalah hal yang baik karena dengan itu kita dapat melihat bahwa tidak ada yang namanya kedewasaan rohani jika ia hanya bersifat magis atau kesalehan moral relatif belaka namun menolak pertumbuhan pemahaman yang lebih mendalam akan salah satu sokoguru iman kita, yakni bagaimana menafsirkan pesan Kitab Suci.

Maka, mari kembali menjelajah. Apa sih contoh hal-hal yang menuntut pemikiran kritis kita tentang Alkitab? (karena beriman secara naif dan irasional itu berbahaya)


1.  Kontradiksi & mutli-vokalitas

1.1. Contoh 1: Perbedaan urutan penciptaan. Manusia diciptakan dalam urutan terakhir (Kej 1:26), sedangkan dalam Kej 2:9,19, manusia diciptakan sebelum tumbuhan dan hewan-hewan.

1.2. Contoh 2: Perbedaan jenis binatang yang diperintahkan Allah untuk dikumpulkan oleh Nuh ke dalam bahtera sebelum air bah.

1.2.1.     Kejadian 6:19-20 menjelaskan bahwa semua hewan dibawa masing-masing SATU pasang, jantan dan betina,

1.2.2.     sedangkan dalam Kejadian 7:2-3 dikatakan bahwa dari hewan yang “haram” harus diambil TUJUH pasang dan hewan haram SATU pasang saja.

Dan lagi, Hukum tentang haram versus tahir baru ada jauh kemudian setelah Israel keluar dari Mesir. Ataukah kisah ini disusun pasca eksodus dari Mesir?

1.3. Contoh 3: Kontradiksi perintah dalam memperlakukan budak.

1.3.1.     Keluaran 21: bangsa Israel boleh memperbudak sesamanya, istri dan anak yang kemudian lahir setelah perbudakan tidak dapat dibebaskan.

1.3.2.     Namun, Ulangan 15:12-18 mengatakan: budak laki-laki MAUPUN perempuan Ibrani dapat dibebaskan setelah mengabdi selama 6 tahun.

1.3.3.     Dalam Imamat 25:39-43, bangsa Israel DILARANG memperbudak sesamanya, melainkan harus mengupah lantas dibebaskan pada tahun “Yobel”.

1.4. Contoh 4: Buah dari kesalehan tidaklah selalu berkah dan mereka yang jahat tidak selalu terjerat hukum.

1.4.1.     Ketika Allah menjanjikan berkat bagi yang saleh (Ul 28:1-2), Ayub malah mengalami tragedi besar (Ayub 1:1-22).

1.4.2.     Ketika Amsal 10:3 menjanjikan orang benar akan dipuaskan, Pengkhotbah 7:15 menggambarkan orang fasik yang mendapatkan apa yang mereka inginkan, begitu pula lewat keluhan Ahur bin Yake (Amsal 30).

1.5. Dan nampaknya Alkitab tidak selalu sepakat mengenai siapakah yang Allah kutuk atau berkati dan ampuni. Contoh ..

1.5.1.     Kota Niniwe diampuni Allah menurut kitab Yunus namun dihukum dalam kitab Nahun dan Zefanya.

1.5.2.     Yehu, raja Israel, menumpas Izebel dan keluarga raja Ahab atas perintah Allah (2Raj 9 & 10), namun dikecam dalam Hosea 1:4 sebagai “hutang darah”, apakah framing ini dilakukan oleh pihak dengan dua agenda berbeda?

1.6. Kronologi yang berbeda terkait kelahiran, silsilah dan lama pelayanan Yesus Kristus. Mat 1:6-7 menyebutkan garis keturunan Yusuf dari Salomo, sedangkan Luk 3:31 menarik garis silsilah dari Natan. Injil-injil Sinoptik (Matius, Markus dan Lukas) menuturkan bahwa Yesus hanya melayani selama sekitar setahun, sedangakan Injil Yohanes menggambarkan dari jumlah perayaan Paskah bahwa Yesus melayani selama sekitar 3 tahun.

1.7. Dalam Injil-injil Sinoptik (Matius, Markus, Lukas), “pengudusan” Bait Allah dimana Yesus mengusir para pedagang dan penukar uang dilakukan menjelang akhir pelayanan-Nya (menjelang penyaliban), namun dalam Injil Yohanes hal itu dilakukan di awal pelayanan-Nya.

1.8. KESELAMATAN.. it’s not that simple. Rasul Paulus menekankan pentingnya iman dibandingkan perbuatan sebagai gambaran keselamatan dalam Kristus (Roma 3:28) sedangkan Surat Yakobus (Yakobus 2:24) menekankan bahwa iman perlu dibuktikan melalui perbuatan baik terhadap sesama. Apakah ini kontradiksi atau saling melengkapi? Apapun jawabnya, kedua narasi menjadi paradoks yang mau tak mau direkonsiliasi atau direnegosiasi dalam suatu ketegangan tertentu yang kita hidupi sehari-hari.


2.Motif Penulisan & Propaganda; 

      yang menjadi tantangan bagaimana menghayati iman Kristiani lewat warisan teks suci yang dipenuhi motif propaganda dan justifikasi pendudukan lahan Kanaan oleh suku bangsa Ibrani, motiv narasi legitimasi monarki Daud, dll. Hal-hal ini akan saya elaborasi di tulisan mendatang.


3.Isu Moral dan Hak Asasi Manusia

Alkitab secara teks tidak luput dari polemik dan kritik etika moral, sebagai contoh  adalah poin 1.3. tadi dimana Perjanjian Lama (dan Perjanjian Baru pula) ditulis dalam peradaban yang menormalisasi dan tidak masalah dengan adanya perbudakan, tentu ini bermasalah ketika kita atau kalangan Kristen tertentu mengklaim bahwa menurut teks, Allah berpendapat bahwa memperbudak atau mengeksploitasi kelompok masyarakat tertentu atau mendirikan sebuah negara “Kristen” dimana satu versi tafsir diskriminatif tertentu dinobatkan sebagai “kebenaran” Alkitabiah, semua itu menjadi tidak hanya diperbolehkan namun adalah juga “mandat Ilahi”. Anda mungkin berpikir bahwa saya bercanda. Namun inilah narasi yang digunakan di masa lalu untuk menjustifikasi dan membela penjajahan kolonial, perbudakan, berbagai Gerakan fasisme, persekusi kelompok religious minoritas, genosida dan penindasan lainnya berdasarkan diskriminasi dan kecurigaan rasial atau strata social, dan apakah yang dimanfaatkan dan disalahgunakan dalam semua ini? Ya, Alkitab.


4.Evolusi keyakinan Eskatologis (terkait alam baka, penghakiman setelah kematian, hari akhir / akhir zaman, dll)

Mengamati pergerakan penyusunan kitab-kitab dan peristiwa yang terjadi di seputarnya (penghancuran & pembuangan Israel ke Babilonia +/- thn 597 SM, penjajahan berulang di wilayah Palestina kuno oleh Persia, Yunani kemudia Romawi, penganiayaan gereja perdana dan pengusiran mereka dari Sinagoge lewat dekrit Jamnia/Yavne thn 90 Masehi, dll), kita dapat memahami bagaimana pergumulan “theodicy” atau upaya memahami keadilan dan kasih Allah di tengah ketidakpastian dan tragedi dunia (lih. 1.4. dan 1.5.) membawa pesan-pesan dalam kitab-kitab apokrifa (deuterokanonika, utamanya 1 & 2 Makabe) berevolusi penjadi keyakinan akan ganjaran di kehidupan selanjutnya (akhirat) dalam Judaisme (yang diteruskan ke dalam Kekristenan).

Lagi-lagi iman yang terbentuk karena kontradiksi baik dalam teks maupun antara iman dan kenyataan hidup, dan mungkin mengejutkan bagi sebagian kita, penghayatan ini adalah hasil renegosiasi teologis dalam memaknai Allah alih-alih asumsi bahwa semua sudah demikian sejak dulu (misal, di era monarki Daud dan setelahnya).

Bagi Anda yang menjelajah perihal penggunaan kata γέεννα “Gehenna” yang kemudian diterjemahkan sebagai “neraka” dalam banyak kutipan Injil, akan nampak jelas pula bagaimana imajinasi surga maupun neraka pasca kematian yang kita miliki hari ini banyak dipengaruhi oleh budaya popular terkemudian dan tentunya tidak ada dalam alam pemikiran masyarakat Yahudi di abad pertama masehi. Sebagai konsekuensi, kita perlu mempertimbangkan bahwa sementara kita mengimani ganjaran akhirat bagi kebaikan dan kejahatan dalam bentuknya yang terselubung bahasa kiasan dan mitologi, ajaran Kristus yang menyertai penggunaan kata “Gehenna” –  yang nyaris selalu mengecam keserakahan dan kekejaman manusia –   adalah prioritas dan instruksi yang lebih jelas dan karenanya tidak bisa diabaikan atau dinomorduakan.

 

Alkitab dipenuhi narasi-narasi yang saling bertentangan satu sama lain jika dibaca hanya secara literal. Menyangkal hal itu dengan serangkaian argumen dan “akrobatik” mental untuk “membuktikan” ketepatan historik-sientifik atau ketiadaan kontradiksi dalam Alkitab layaknya dilakukan oleh banyak “apologet” (pembela iman konservatif) justru mematahkan argumen di atas, karena akhirnya akan nampak nyata bahwa mereka pun selektif dalam menafsir dan dasar seleksi itu bukan kebenaran surgawi objektif melainkan keyakinan dogmatik mereka akan “sola scriptura” (Alkitab sebagai satu-satunya sumber iman) secara sempit, dan akhirnya Alkitab malah menjadi sulit untuk dipahami “apa adanya”, mereka bersikeras bahwa Alkitab harus dipahami melampaui tradisi, padahal tradisi iman lah yang memungkinkan penulisan, pelestarian dan kanonisasi Alkitab!

Bagi saya pribadi setelah banyak pembelajaran dan perenungan, memang iman kepada Kristus tidak bisa bertolak dari perspektif pembuktian forensik ala-ala konsep kebenaran era modernisme, itu akan sama saja memakai metodologi dari pihak yang Anda tentang untuk menguatkan argumen Anda, padahal iman adalah keterbukaan rasional akan dimensi misteri Allah. Maka di dalam keterbukaan itu, kita bisa koq tetap beriman tanpa perlu malu mengakui bahwa:

1.     Alkitab disusun dalam periode peradaban kuno dimana bahasa mitologi, hiperbola dan alegori adalah cara yang umum dalam menceritakan kisah maupun tokoh yang amat berpengaruh atau diimani sangat dekat dengan keterlibatan Sang Pencipta.

2.     Kita semua pilih-pilih koq dalam menafsir Alkitab. Tidak ada yang sempurna, and it’s OK. Kita dan Gereja sepanjang sejarah telah melakukan proses teologisasi dan renegosiasi penafsiran dan penyesuaian (kontekstualisasi) teks-teks purba dalam Alkitab dengan kehidupan kita saat ini. Dan persis karena itulah Allah melalui Alkitab masih “berbicara” kepada kita hingga hari ini. Yang terpenting adalah pemahaman dan metodologi pembacaan yang dapat dipertanggungjawabkan dan setia dengan tradisi iman para Rasul yang mereka terima dari Kristus. Di sinilah menurut saya pentingnya katekisasi dan dialog biblika secara terdidik dan egaliter, bukan bible study independent non-kredibel sana-sini, bukan juga debat kusir dengan sembarang mengutip ayat tanpa konteks yang jelas dan pemikiran yang runut. Katekisasi yang baik meski seolah membosankan dan terlalu akademik, justru adalah sarana pencegahan terhadap keimanan yang fundamentalistik manipulatif dan anti akal sehat serta beriman secara sehat. Sebagaimana seorang sahabat teolog mengatakan, “syarat utama berteologi cuma satu.. waras”.

 

Maka, mari waspada jika ada mereka yang mengklaim paham dan mengajarkan pada Anda “kebenaran Alkitabiah” namun yang pada akhirnya membuat pembedaan dan penghakiman akan siapa yang benar dan salah tanpa mengijinkan Alkitab untuk dibaca secara kritis dari lensa Yesus Kristus yang penuh keterbukaan dan semangat kesetaraan serta pembebasan.

 

Berkah dalem.

FZ 趙健忠

 

#3of30 #30harimenulis

 

Catatan:

Dr. Enns, Dr. Walter Bruegemann, Rm. Henri Nouwen (alm.), Rev. Tish Harrison Warren dan Dr. Miguel de La Torre  adalah para cendikia dan teolog yang tulisannya menginspirasi saya secara massif dalam dekonstruksi / peralihan interpretative dari pandangan spiritualitas yang fundamentalistik menuju universalitik, progresif dan kritis terhadap muatan propaganda dan kolonialisme dalam pewartaan Kitab Suci, namun sekaligus kembali kepada apresiasi mendalam terhadap Sejarah Gereja, pemikiran pujangga Gereja maupun liturgi yang sakramental dan ekaristis dalam keseharian.

Mengenai ironi konsep kebenaran "konservatif" yang menjadi problematik secara humanis, juga telah saya tulis di sini.



Silakan klik beberapa kisah di bawah ini untuk membaca blog lengkapnya ...


Kenyataan diagnosa penyakit membawa saya merenungkan tentang kedewasaan dalam memahami iman yang melibatkan penerimaan akan realitas.

Apa hubungan perkembangan kosmologi dan fisika kuantum dalam menemukan kembali inklusivitas dalam dialog iman?

Segurat protes terhadap "tradisi" manipulasi narasi "alkitabiah" tentang kepatuhan dan pahala dalam relasi komunal termasuk bergereja.

Membingkai dosa dalam lensa keselamatan postmortem imajinatif personal (baca: "egoistik") terkadang membuat kita lupa bahwa dosa juga adalah sistem perusakan jalinan dunianya Allah, fisik & komunal.

Contoh-contoh Kontradiksi dan Polemik dalam Teks Alkitab yang Memerlukan Pendekatan Kritik Tekstual

 

Apa sih contoh hal-hal yang menuntut pemikiran kritis kita tentang Alkitab? (karena beriman secara naif dan irasional itu berbahaya)

 

1.     Kontradiksi & mutli-vokalitas

 

1.1.          Contoh 1: Perbedaan urutan penciptaan. Manusia diciptakan dalam urutan terakhir (Kej 1:26), sedangkan dalam Kej 2:9,19, manusia diciptakan sebelum tumbuhan dan hewan-hewan.

 

1.2.          Contoh 2: Perbedaan jenis binatang yang diperintahkan Allah untuk dikumpulkan oleh Nuh ke dalam bahtera sebelum air bah.

1.2.1.     Kejadian 6:19-20 menjelaskan bahwa semua hewan dibawa masing-masing SATU pasang, jantan dan betina,

1.2.2.     sedangkan dalam Kejadian 7:2-3 dikatakan bahwa dari hewan yang “haram” harus diambil TUJUH pasang dan hewan haram SATU pasang saja.

Dan lagi, Hukum tentang haram versus tahir baru ada jauh kemudian setelah Israel keluar dari Mesir. Ataukah kisah ini disusun pasca eksodus dari Mesir?

 

1.3.          Contoh 3: Kontradiksi perintah dalam memperlakukan budak.

1.3.1.     Keluaran 21: bangsa Israel boleh memperbudak sesamanya, istri dan anak yang kemudian lahir setelah perbudakan tidak dapat dibebaskan.

1.3.2.     Namun, Ulangan 15:12-18 mengatakan: budak laki-laki MAUPUN perempuan Ibrani dapat dibebaskan setelah mengabdi selama 6 tahun.

1.3.3.     Dalam Imamat 25:39-43, bangsa Israel DILARANG memperbudak sesamanya, melainkan harus mengupah lantas dibebaskan pada tahun “Yobel”.

 

1.4.          Contoh 4: Buah dari kesalehan tidaklah selalu berkah dan mereka yang jahat tidak selalu terjerat hukum.

1.4.1.     Ketika Allah menjanjikan berkat bagi yang saleh (Ul 28:1-2), Ayub malah mengalami tragedi besar (Ayub 1:1-22).

1.4.2.     Ketika Amsal 10:3 menjanjikan orang benar akan dipuaskan, Pengkhotbah 7:15 menggambarkan orang fasik yang mendapatkan apa yang mereka inginkan, begitu pula lewat keluhan Ahur bin Yake (Amsal 30).

 

1.5.          Dan nampaknya Alkitab tidak selalu sepakat mengenai siapakah yang Allah kutuk atau berkati dan ampuni. Contoh ..

1.5.1.     Kota Niniwe diampuni Allah menurut kitab Yunus namun dihukum dalam kitab Nahun dan Zefanya.

1.5.2.     Yehu, raja Israel, menumpas Izebel dan keluarga raja Ahab atas perintah Allah (2Raj 9 & 10), namun dikecam dalam Hosea 1:4 sebagai “hutang darah”, apakah framing ini dilakukan oleh pihak dengan dua agenda berbeda?

 

1.6.          Kronologi yang berbeda terkait kelahiran, silsilah dan lama pelayanan Yesus Kristus. Mat 1:6-7 menyebutkan garis keturunan Yusuf dari Salomo, sedangkan Luk 3:31 menarik garis silsilah dari Natan. Injil-injil Sinoptik (Matius, Markus dan Lukas) menuturkan bahwa Yesus hanya melayani selama sekitar setahun, sedangakan Injil Yohanes menggambarkan dari jumlah perayaan Paskah bahwa Yesus melayani selama sekitar 3 tahun.

 

1.7.          Dalam Injil-injil Sinoptik (Matius, Markus, Lukas), “pengudusan” Bait Allah dimana Yesus mengusir para pedagang dan penukar uang dilakukan menjelang akhir pelayanan-Nya (menjelang penyaliban), namun dalam Injil Yohanes hal itu dilakukan di awal pelayanan-Nya.

 

1.8.          KESELAMATAN.. it’s not that simple. Rasul Paulus menekankan pentingnya iman dibandingkan perbuatan sebagai gambaran keselamatan dalam Kristus (Roma 3:28) sedangkan Surat Yakobus (Yakobus 2:24) menekankan bahwa iman perlu dibuktikan melalui perbuatan baik terhadap sesama. Apakah ini kontradiksi atau saling melengkapi? Apapun jawabnya, kedua narasi menjadi paradoks yang mau tak mau direkonsiliasi atau direnegosiasi dalam suatu ketegangan tertentu yang kita hidupi sehari-hari.

 

2.     Motif Penulisan & Propaganda; yang menjadi tantangan bagaimana menghayati iman Kristiani lewat warisan teks suci yang dipenuhi motif propaganda dan justifikasi pendudukan lahan Kanaan oleh suku bangsa Ibrani, motiv narasi legitimasi monarki Daud, dll. Hal-hal ini akan saya elaborasi di tulisan mendatang.

 

3.     Isu Moral dan Hak Asasi Manusia

Alkitab secara teks tidak luput dari polemik dan kritik etika moral, sebagai contoh  adalah poin 1.3. tadi dimana Perjanjian Lama (dan Perjanjian Baru pula) ditulis dalam peradaban yang menormalisasi dan tidak masalah dengan adanya perbudakan, tentu ini bermasalah ketika kita atau kalangan Kristen tertentu mengklaim bahwa menurut teks, Allah berpendapat bahwa memperbudak atau mengeksploitasi kelompok masyarakat tertentu atau mendirikan sebuah negara “Kristen” dimana satu versi tafsir diskriminatif tertentu dinobatkan sebagai “kebenaran” Alkitabiah, semua itu menjadi tidak hanya diperbolehkan namun adalah juga “mandat Ilahi”. Anda mungkin berpikir bahwa saya bercanda. Namun inilah narasi yang digunakan di masa lalu untuk menjustifikasi dan membela penjajahan kolonial, perbudakan, berbagai Gerakan fasisme, persekusi kelompok religious minoritas, genosida dan penindasan lainnya berdasarkan diskriminasi dan kecurigaan rasial atau strata social, dan apakah yang dimanfaatkan dan disalahgunakan dalam semua ini? Ya, Alkitab.

 

4.     Evolusi keyakinan Eskatologis (terkait alam baka, penghakiman setelah kematian, hari akhir / akhir zaman, dll)

Mengamati pergerakan penyusunan kitab-kitab dan peristiwa yang terjadi di seputarnya (penghancuran & pembuangan Israel ke Babilonia +/- thn 597 SM, penjajahan berulang di wilayah Palestina kuno oleh Persia, Yunani kemudia Romawi, penganiayaan gereja perdana dan pengusiran mereka dari Sinagoge lewat dekrit Jamnia/Yavne thn 90 Masehi, dll), kita dapat memahami bagaimana pergumulan “theodicy” atau upaya memahami keadilan dan kasih Allah di tengah ketidakpastian dan tragedi dunia (lih. 1.4. dan 1.5.) membawa pesan-pesan dalam kitab-kitab apokrifa (deuterokanonika, utamanya 1 & 2 Makabe) berevolusi penjadi keyakinan akan ganjaran di kehidupan selanjutnya (akhirat) dalam Judaisme (yang diteruskan ke dalam Kekristenan).

Lagi-lagi iman yang terbentuk karena kontradiksi baik dalam teks maupun antara iman dan kenyataan hidup, dan mungkin mengejutkan bagi sebagian kita, penghayatan ini adalah hasil renegosiasi teologis dalam memaknai Allah alih-alih asumsi bahwa semua sudah demikian sejak dulu (misal, di era monarki Daud dan setelahnya).

Bagi Anda yang menjelajah perihal penggunaan kata γέεννα “Gehenna” yang kemudian diterjemahkan sebagai “neraka” dalam banyak kutipan Injil, akan nampak jelas pula bagaimana imajinasi surga maupun neraka pasca kematian yang kita miliki hari ini banyak dipengaruhi oleh budaya popular terkemudian dan tentunya tidak ada dalam alam pemikiran masyarakat Yahudi di abad pertama masehi. Sebagai konsekuensi, kita perlu mempertimbangkan bahwa sementara kita mengimani ganjaran akhirat bagi kebaikan dan kejahatan dalam bentuknya yang terselubung bahasa kiasan dan mitologi, ajaran Kristus yang menyertai penggunaan kata “Gehenna” –  yang nyaris selalu mengecam keserakahan dan kekejaman manusia –   adalah prioritas dan instruksi yang lebih jelas dan karenanya tidak bisa diabaikan atau dinomorduakan.

Sunday, February 16, 2025

MEMAHAMI

Semangat Belajar lewat Praktek Kerendahan Hati dan Semangat Metanoia dalam Ajaran Kristiani

 




“Belum cancer.” Demikian ujar dokter spesialis saluran cerna tempat saya berkonsultasi 2 tahun silam karena gangguan pendarahan terkait radang usus dan ambein kronis. Kata dan istilah seperti “remisi, biopsi, patologi, tumor marker” dan lainnya terkait pemeriksaan dan diagnosis saya waktu itu menjadi kata-kata yang menteror jiwa namun kian lama jadi terbiasa. Seiring perbaikan kondisi hal lain yang tak kalah disyukuri adalah kesempatan yang begitu berharga untuk merenungkan kaitan antara realita kehidupan dan panggilan untuk menjadi lebih paham dan bijaksana, suatu panggilan spiritual untuk menjaga semangat pembelajar.

Sama seperti hal-hal terkait onkologi (sel-sel, perkembangan abnormal, kanker dll) yang bisa kita pelajari secara formal maupun general karena “paksaan” keadaan ketika keluarga atau diri sendiri menghadapi gejala atau resiko terkait, maka terkait hal-hal atau bidang lainnya kita akan menemukan setidaknya dua hal:

  1. Mempelajari sesuatu secara serius itu tidak nyaman, dibutuhkan upaya ekstra untuk memahami atau mengingat hal-hal asing. Berita baiknya, sejak itu, konsep-konsep baru tersebut akan menambah dan manunggal dengan cara kita melihat dan memahami kehidupan. Kita akan menyadari “blind spot” atau “kebutaan” kita semula dalam menanggapi realita, mungkin kita akan serba salah dan malu jika mengingat bagaimana “blind spot” kita dulu mendikte respon dan ucapan kita.
  2. Kita akan menyadari kompleksitas kehidupan yang mulanya akan menambah ketidaknyamanan dan kegelisahan, namun jika kita mengijinkan proses ini berlanjut, kita akan tiba dalam sebuah kesadaran yang memampukan kita untuk hidup lebih bijaksana, sadar akan kondisi spiritual terdalam kita yakni panggilan dan tujuan kehidupan kita. Kita menjadi semakin kenal dan bergerak ke arah harmoni dengan diri sendiri maupun sesama. 

Bicara soal kebijaksanaan dan harmoni, teori Efek Dunning-Kruger mengangkat sebuah ironi, bahwa ketika kita masih rendah kompetensi akan suatu pengetahuan atau topik, kita cenderung merasa sudah paham.

Namun ketika mulai mendalami suatu ilmu, kita akan masuk pada fase kegelisahan dan putus asa, kita sadar bahwa dari kebenaran yang demikian dalam tentang suatu hal, kita seolah baru menyelesaikan halaman kulit atau pengantar dari sebuah buku mahatebal. Selanjutnya, asalkan kita tetap tekun dan tak menyerah kita akan tiba pada fase penguasaan, kompetensi dan keahlian. Di tahap ini, kita akan cenderung menahan diri dan berhati-hati dalam beropini karena kita tahu dalam kompetensi yang tinggi tersebut, hal tersebut tidaklah sederhana. Sebagian juga mungkin dikarenakan sulitnya menjelaskan kepada mereka yang masih di tahap awal efek ini. Dalam polah tingkah mereka kita berkaca melihat diri kita yang dulu naif namun banyak bicara.

Ketika sadar bahwa dalam kondisi mengarah ke perkembangan tumor yang harus dijaga ketat agar tidak mengganas, kata “remisi” adalah realita yang harus diterima karena ia tidak simpati pada kebutuhan kita akan rasa aman yang semu di balik naifnya kata “sembuh” atau “sakit”.  Meminjam ekspresi Pdt. Dr. Leo Epafras, “digantung atau diberi harapan palsu oleh mantan itu tidak enak”.

Kita bisa saja memilih kenaifan meski itu disamarkan dengan terminologi spiritual seperti berdoa, mengandalkan Tuhan dan sebagainya, tidak apa-apa, selama kita tidak menyangkali “stages of grief” kita dimana kita secara kejiwaan diperbolehkan untuk berproses, berkabung, takut, menolak, marah, dan seterusnya. Menjadi Rohani atau mempercayai Tuhan tidak mengharuskan kita mem-bypass kemanusiaan kita. Atau, mungkin kita dapat mencoba menapaki jalur yang lebih “tinggi” lagi, sulit namun baik. Kita bisa belajar menerima realita, bersyukur untuk waktu hidup dan sekadar kesehatan yang masih ada, memperbaiki diri dan menjadi pribadi yang lebih terbuka, mudah diakses dan dicintai oleh orang-orang terdekat kita. 

Belajar dan menjadi lebih paham membuka diri kita untuk disakiti, menjadi takut, kehilangan kepastian, bahkan menanggalkan konsep-konsep ilusif dalam cara kita membaca Firman Tuhan, kita diminta melucuti penafsiran-penafsiran yang kita buat terhadap ayat atau kisah tertentu yang sebenarnya lahir dari proyeksi ketakutan kita, perasaan trauma berkekurangan kita, atau kebutuhan mendalam kita akan kepastian terutama terkait hal-hal yang tidak dapat kita pastikan seperti masa depan maupun kematian.

 

“Karena itu, Saudara-saudara, oleh kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup , yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah: itulah ibadahmu yang sejati.” (Rm 12:1 – TB2)

Menarik bahwa St. Paulus dalam Roma 12:1 di atas menggunakan kata λογική σας λατρεία “logike sas latreia” (penyembahan yang logis atau dilakukan dengan akal budi yang sehat) untuk menggambarkan gagasan “a proper worship” atau penyembahan yang sejati atau pantas. Nampaknya bagi Paulus, penyembahan yang pantas diterima Allah dari kita dan penggunaan akal sehat dan kapasitas akal budi kita bukanlah hal yang sama sekali saling bertentangan. Senada, seorang sahabat mengingatkan saya, "Syarat utama berteologi cuma satu: waras." Maka betapa kontrasnya pemahaman tadi dengan sikap banyak pemuka dan jemaat hari ini yang mempertentangkan kedua hal tersebut dalam bentuk kerohanian yang menyangkali realita dan malah anti-intelektual. Bahkan saya kenal sejumlah pihak yang menggunakan ayat-ayat untuk membingkai para pembelajar sebagai orang-orang sombong yang tidak mengandalkan Allah. Ini keterlaluan.

Selanjutnya, Paulus menuliskan dalam ayat 2: “Janganlah menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan mana kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada-Nya dan sempurna.”

Tak kalah menariknya bahwa kata “pembaharuan” atau perombakan di ayat tersebut diterjemahkan dari kata Yunani ἀνακαινίσεως  “anakainiseos” yang berkaitan erat secara konsep dengan kata “metanoia” yang sering diterjemahkan sebagai “bertobat”.

Kesaksian Alkitab akan Yesus Kristus justru memberikan janji “insentif” berupa kedamaian ketika kita berani melangkah keluar dari diri sendiri untuk beriman, dan dalam hal inilah pendirian saya sejalan dengan perkataan Anselmus dari Canterbury, “Fides Cuaraens Intellectum” (karena iman maka kita mencari pengertian).

Mereka yang membaktikan hidupnya untuk terus belajar, membuka diri untuk menjadi rentan, mempertimbangkan bahwa orang lain bisa jadi ada benarnya, membuka pintu hati untuk diyakinkan dan berubah pikiran tentang sesuatu, bukankah ini semangat yang dikatakan rasul Paulus dalam Filipi 2:2b-3 TB2?

“Hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, tanpa mencari kepentingan sendiri atau pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari dirinya sendiri.”

Jika penyembahan yang berkenan pada Allah tidak bisa dipisahkan dari ekspresi akal budi untuk berpikir dan percaya secara runut tentang Allah dan karya-Nya, tidakkah tak terpisahkan pula “metanoia” atau pertobatan dari pembelajaran dan percakapan dua arah dalam kesetaraan? Tidakkah kekerasan hati dan kepala akan menghalangi kita dalam pertobatan yakni jalan memperoleh perkenanan Allah?

Maka saya percaya bahwa iman adalah sungguh-sungguh iman bukan ketika kita menentang pengetahuan, namun ketika kita belajar dan karenanya semakin paham akan realita ketidakpastian (bahkan dalam memahami narasi teks kitab suci pun), namun tetap memilih berserah kepada misteri penyelenggaraan Allah, sambil terus berjaga-jaga dan kritis dalam menjaga pintu percakapan tetap terbuka dalam menjawab segala bentuk upaya menciptakan atau memaksakan kepastian semu dengan memaipulasi Firman Allah.

Mari mengingat bahwa kita dipanggil menjadi MURID Kristus, bukan untuk memenuhi bangunan Gereja, kita diutus untuk menjadikan segala bangsa MURID-Nya, dan setahu saya murid yang baik bukan yang manggut-manggut saja namun yang banyak melontarkan pertanyaan-pertanyaan sulit yang meresahkan namun perlu dijawab.

 

Berkah Dalem - FZ 趙健忠

Amrih Mulyo Dalem Gusti – AMDG

#20f30 #30harimenulis